Pages

Selasa, 24 Desember 2013

Legenda Pesut Mahakam



CERITA RAKYAT KALIMANTAN TIMUR
Judul                           : Legenda Pesut Mahakam
Pemeran / Tokoh         : 1. Ayah (Usat)                                  5. Anak Perempuan (Asung)
  2. Ibu kandung                                  6. Sesepuh desa
  3. Ibu tiri (Lung)                               7. Nenek
  4. Anak laki-laki (Jalung)                  8. Tetangga 1 dan 2
           
Legenda Pesut Mahakam
Alkisah, disebuah dusun di Rantau Mahakam, Kalimantan Timur, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, serta seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Keluarga tersebut senantiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Sang ayah seorang kepala keluarga yang arif dan bijaksana, sedangkan ibu sangat terampil dan cekatan dalam mengurus rumah tangga. Kebutuhan hidup mereka tercukupi dari hasil menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran di kebun. Suatu hari ayah mengajak sang anak laki-lakinya ke kebun. Berikut kisahnya.
Adegan 1
Ayah   : “Nak, bagaimana kalau hari ini bantu Ayah sama Ibu di kebun?”
Jalung : “Baiklah Ayah”.
Asung  : “Tapi bagaimana dengan putri dan Ibu, apakah kami ikut juga ke kebun?”
Ayah   : “Tidak usah, nanti kalian menyusul dan membawa bekal makan siang untuk Ayah dan        Abangmu saja ya”.
Asung : “Baiklah kalau begitu”.
(Matahari semakin tinggi dan menunjukkan jam makan siang. Merekapun segara beristirahat dan menyantap makanan yang telah disediakan ibu dan putri).
Ibu       : “Makan siangnya sudah siap Ayah , mari kita makan”.
Jalung : “Waaahh….. harum sekali aroma masakan ibu, ini pasti enak (dengan wajah yang senang dan tidak sabar ingin segera menyantap masakan ibu)”.
Ayah, Ibu, Asung : “(tersenyum bahagia melihat tingkah sang kakak yang sudah tidak sabar ingin segera makan)”.
(Mereka pun menikmati menu makan siang yang sederhana ditengah kebun yang indah penuh dengan tanaman buah dan sayuran).
Pada suatu hari, sang ibu terserang sebuah penyakit aneh. Tiba-tiba sang ibu terjatuh disaat sedang memasak sarapan pagi di dapur dan Lukut melihat sang ibu sudah tergeletak lemas dilantai dapur.
Adegan 2
Asung : “Ibuuuuuuuu….!!!! (Sambil berteriak dengan wajah panik)”.
(Ayah dan Jalong pun mendengar suara teriakan Lukut dan segera menghampirinya).
Ayah   : “Kenapa dengan Ibu mu, Nak? (dengan raut wajah panik)”.
Asung  : “Lukut tidak tau, Ayah! Tiba-tiba Lukut melihat Ibu sudah tergeletak di lantai”.
Jalung  : “Ya sudah. Sebaiknya kita bawa saja Ibu ke kamar”.
Ayah   : “Iya nak bantu Ayah”.  
Jalung : “ Ayah, bagaimana kalau kita panggil saja tabib untuk periksa ibu”.
Ayah   : “Baiklah nak”.
(Akhirnya sudah banyak tabib yang telah mengobati sang ibu, namun penyakitnya tak kunjung sembuh dan akhinya ia meninggal dunia).
Jalung & Asung : “Ibuuuuuuuuuuu, bangun Bu….!!! Jangan tinggalin kami (sambil menangis dengan raut wajah yang sangat sedih karena tak ingin ditinggalkan seorang ibu).
Ayah : “(Hanya diam dan menangisi kepergian sang istri)”.
Sejak saat itu, kehidupan keluarga mereka menjadi berantakan dan tak terurus lagi. Sang ayah dan kedua anaknya terus terlarut dalam kesedihan. Ayah menjadi pemurung dan suka bermalas-malasan, sedangkan kedua anaknya kelihatan bingung, tak tau apa yang mereka lakukan. Melihat kondisi tersebut para sesepuh dusun berusaha membujuk mereka agar tidak larut dalam kesedihan dan sang ayah kembali mencari nafkah seperti biasa.
Sesepuh dusun              : “Sudahlah, Pak Usat! Hilangkan kesedihanmu itu dan kembalilah bekerja seperti biasanya. Lihatlah kedua anakmu itu mereka terlihat semakin kurus karena kurang makan !”.
Ayah   : “(Hanya diam dan tak menghiraukan nasihat sesepuh itu)”.
Keadaan tersebut berlangsung hingga satu musim dari musim tanam hingga musim panen dan seperti biasanya musim panen tiba dusun tersebut mengadakan pesta adat yang diisi dengan beranekaragam pertunjukan ketangkasan dan kesenian selama tujuh hari tujuh malam.
Adegan 3
Sesepuh dusun : “Pak Usat! Kenapa tidak ikut menyaksikan pesta adat? Disana ada seorang penari   cantik,  pandai dan gemulai menari yang mengisi acaranya”.
Ayah   : “Benarkah? (Dengan penuh semangat ingin menyaksikan pertunjukan tersebut).
Sesepuh dusun  : “Iya benar, Pak?”.
Akhirnya sang ayah pun dengan penuh semangat berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan menari. Ia sengaja berdiri paling depan agar dapat menyaksikan tarian serta wajah gadis itu dengan jelas. Gerakan tubuhnya yang lemah-lembut dan gemulai benar-benar mengundang kekaguman para penonton. Lain halnya dengan sang ayah yang hanya sesekali tersenyum . Pandangan matanya senantiasa tertuju kepada wajah cantik gadis itu tanpa bergeming sedikitpun. Sebaliknya, pandangan gadis itu tertuju kepada sang ayah sambil melemparkan senyum manisnya. Pada saat itulah jantung sang ayah berdetak kencang, rupanya ia jatuh cinta kepada gadis itu begitupun sebaliknya. Tak lama kemudian sang ayah dan gadis itupun berkenalan.
Ayah   : “Wah…..Pertunjukan narinya bagus sekali (sambil tersenyum)”.
Lung    : “Terimakasih, Bang (tersipu malu)”.
Ayah   : “Kalau abang boleh tau namanya siapa?” (tanya Ayah sambil mennyalaminya).
Lung    : “Nama saya Lung. Abang namanya siapa?”
Ayah   : “Nama yang cantik, cantik seperti wajahnya, nama saya Asut. Lung, dari awal Abang menyaksikan pertujukan nari dan melihat wajah Lung yang sangat cantik membuat abang jatuh hati”.
Lung    : “Iya, Bang. Lung juga merasakan hal yang sama (sambil tersipu malu)”.
Ayah   : “Tapi abang sudah mempunyai dua org anak. Apakah Lung bersedia membantu abang untuk merawat mereka?”
Lung    : “Tentu saja, Bang. Lung berjanji akan menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri.
Setelah mendapat restu dari sesepuh kampung, akhirnya mereka menikah. Setelah menikah dengan gadis itu sang Ayah tidak pernah murung lagi dan bermalas-malasan, begitu juga dengan kedua anaknya. Namun, beberapa bulan kemudian keluarga itu diguncang prahara. Sang Ibu Tiri ternyata mengingkari janjinya untuk menyayangi kedua anak tirinya. Sang Ibu Tiri menjadi lebih kasar dan suka memarahi kedua anak tirinya. Sang Ayah yang mengetahui perilaku istrinya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa karena ia sangat mencintai istrinya.
Adegan 4
(Pada saat makan siang, sang Ibu melarang kedua anak tirinya untuk makan bersama).
Ibu Tiri     : “Mengapa kalian duduk disini?” (Dengan wajah penuh kebencian).
Jalung & Asung : “Kami juga mau makan, Bu.” (Dengan serentak menjawab).
Ibu Tiri    : “Kalian tidak boleh makan disini lagi!” (Dengan suara keras).
Jalung     : “Kenapa kami tidak boleh makan disini? Biasanya juga kami makan disini kan.
Ibu Tiri   : “Mulai sekarang kalian tidak pantas makan disini lagi, ini makanan yang pantas buat    kalian. Mengerti !!!” (Sambil menyodorkan sisa-sisa makanan).
Asung      : “Ibu…mengapa Ibu jadi seperti ini? Apa salah kami, Bu?” (Dengan sedih bertanya  pada ibu tirinya).
Ibu Tiri  : “Sudah jangan banyak tanya lagi. Cepat kalian bawa makanan sisa ini dan makan ditempat lain”.
Jalung & Asung : “Baiklah, Ibu.” (Dengan wajah murung merekapun pergi).
Ayah        : “(Sang Ayah tidak dapat berbicara apa-apa dan hanya terdiam saja)”.
Sejak saat itu, segala urusan rumah tangga ditangani oleh sang Ibu Tiri. Setiap hari sang Ibu menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan, bahkan ia sering menyuruh mereka untuk mengerjakan hal-hal diluar kemampuan mereka. Pada suatu hari, sang Ibu Tiri membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar dihutan dengan jumlah yang banyak.
Ibu Tiri   : “Hei pemalas…..! Carilah kayu bakar ke hutan. Kalian harus mengumpulkan kayu bakar yang jumlahnya tiga kali lipat dari yang kalian peroleh kemarin. Ingat….!!! Jika kalian pulang sebelum mengumpulkan kayu sebanyak itu maka kalian tidak akan mendapat makan hari ini (ancam sang Ibu Tiri).
Jalung        : “Maaf, Bu. Untuk apa kayu bakar sebanyak itu? Bukankah kayu bakar kita masih banyak? Kalau kayunya mau habis barulah kami akan mencarinya lagi”.
Ibu Tiri   : “Dasar anak pemalas. Rupanya kalian sudah berani membantah Ibu ya? Awas nanti    saya laporkan kepada Ayah kalian bahwa kalian pemalas.” (Sang Ibu Tiri kembali mengancam kedua anaknya).
(Tanpa berkata apa-apa, si anak perempuan segera menarik tangan kakaknya. Ia menyadari bahwa ayah mereka telah dipengaruhi oleh sang ibu tiri).
Asung  : “Sudahlah, Bang! Kita turuti saja perintah Ibu. Tidak ada gunanya kita membantah karena kita tetap akan dipermasalahkan.” Ujar sang adik dengan suara pelan.
Setelah menyiapkan beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, mereka segera mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya tanpa mengenal lelah. Namun, hingga hari menjelang sore, mereka belum mengumpulkan kayu bakar sebanyak yang ibu tirinya minta. Karena takut dimarahi, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di hutan. Mereka tidur di dalam sebuah gubuk reot untuk berlindung dari cuaca dingin. Keesokan harinya, kedua anak itu kembali mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Namun, ketika hari menjelang siang, kedua anak itu tiba-tiba tergeletak di tanah karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Untungnya, ada seorang nenek  yang sedang melintas di tempat itu dan segera menolong mereka.
Adegan 5
Asung      : “Ibu, kami berangkat dulu ya. Assalamualaikum.”
Ibu Tiri  : Iya, pergilah dan jangan kembali jika kalian belum mendapatkan kayu bakar yang             banyak. Wa’alaikumsalam (Ibu menjawab dengan ketus. Ia merasa senang dan tertawa kecil bisa membohongi kedua anak itu). Hahaha….. kalian tidak mungkin akan bertemu kami lagi (sambung sang Ibu berbicara sendiri).
(Sesampainya di hutan).
Jalung      : “Adek, ayo kita segera mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya biar kita bisa cepat        pulang”.
Asung     : “Iya, Bang. Adek juga berusaha mencari kayu bakar ini sebanyak-banyaknya”.
Jalung     : “Hehehe…..semangat ya, Dek!” ujar sang abang sambil mengguraui adiknya”.
Asung     : “Iya, abang juga semangat ya”. (Balas adiknya sambil tersenyum).
Jalung     : “Adek belum capek ya? Ini sudah sore, sebaiknya kita pulang saja”.
Asung   : “Bagaimana kita bisa pulang, Bang? Sedangkan kayu bakar ini saja belum terkumpul sesuai dengan yang ibu minta. Bisa-bisa kita dimarahi lagi”.
Jalung   : “Iya, Dek. Kamu benar juga (terdiam sejenak lalu memutuskan untuk menginap). Bagaimana kalau kita menginap saja di hutan ini?”
Asung     : “Mau menginap dimana, Bang?”
Jalung   : “Kita menginap saja di gubuk itu, yang penting kita bisa tidur malam ini”.
Asung  : “Baiklah, Bang. Ayo kita segera ke gubuk itu.” (Dengan cepat mereka berjalan menuju gubuk).
(Keesokan harinya). 
Asung    : “Bang, ayo bangun. Mataharinya sudah mulai terang. Ayo kita cari kayu bakar lagi”.
Jalung   : “Iya, Dek. Ayo kita berangkat.” (Segera bangun dan langsung keluar dari gubuk dan melanjutkan pekerjaan mencari kayu bakar).
Asung    : “Bagaimana, Bang? Sudah banyak yang terkumpul kayu bakarnya?”.
Jalung    : “Sudah lumayan sih tapi belum sesuai dengan permintaan ibu”.
Asung  : “Bang, Adek lapar nih! Dari kemarin kita belum makan sedikitpun.” Ujar sang adik dengan lemah.
Jalung    : “Iya, Dek! Abang juga terasa lapar nih. Kita tidak membawa bekal sedikitpun”.
(Tak berapa lama kemudian, kedua anak tersebut pingsan dan tergeletak di tanah kaena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Tiba-tiba melintas seorang nenek).
Nenek   : Astagfirullah..!!! Anak siapa ini?” ujar sang kakek yang terkejut. Kasihan sekali mereka sebaiknya aku bawa saja anak ini ke bawah pohon itu (dengan segera nenek membawa kedua anak tersebut dan berusaha menyadarkan mereka yang pingsan).
(Tak berapa lama kemudia, kedua anak malang itupun tersadar).
Jalung   : “Kita dimana ini? Mengapa kita berada ditempat ini?” tanya sang abang. Nenek siapa?” tanyanya lagi ketika melihat seorang nenek yang tak dikenalnya.
Nenek     : “Tenanglah, Cucuku! Nenek yang membawa kalian ke tempat ini. Nenek menemukan kalian sedang tergeletak dan tak sadarkan diri ditengah hutan ini. Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan ditempat ini?
Asung    : “Nama saya Asung dan ini abang saya Jalung. Kami sedang mencari kayu bakar. Dari kemarin kami telah berada dihutan ini dan dari kemarin juga kami belum makan dan minum sedikitpun, Nek. Kami disuruh ibu tiri kami untuk mencari kayu bakar tiga kali lipat dari biasanya. Jika semuanya belum terkumpul maka kami tidak boleh pulang kerumah. Namun, sampai sekarang kami belum juga mendapatkan kayu bakar yang banyak.” Ujar sang adik dengan sedih.
Nenek   : “Kasihan sekali kalian, Cucuku….! Kalau begitu sebaiknya kalian pergi saja kearah rimbunan pohon itu karena disana banyak terdapat buah-buahan. Makanlah buah itu sepuas-puasnya sampai kalian kenyang dan kembali segar. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja.” Ujar Sang nenek.
Jalung     : “Benarkah perkataanmu ini, Nek?”.
Nenek     : “Iya, Cucuku! Segeralah kalian pergi ke rimbunan pohon itu”.
Asung     : “Baiklah, Nek. Terimakasih banyak karena telah membantu kami berdua”.
Nenek     : “Sama-sama Cucuku! Pergilah segera”.
Jalung    : “Iya, Nek.” (Dengan segera kedua anak tersebut langsung bergegas menuju rimbunan pohon).
(Setibanya dibawah rimbunan pohon, kedua anak itu mendapati beraneka jenis pohon yang sedang berbuah. Ada pohon durian, nangka, cempedak, manga, dan papaya yang tampak berserakan ditanah).
Asung     : “Waaaaah…….! Banyak sekali buah-buahan di tempat ini, Bang”.
Jalung    : “Iya, Dek. Perut Abang jadi semakin lapar nih…. Hehehe.” Ujar sang Abang sambil tertawa kecil.
Asung      : “Ya sudah, ayo kita makan buah-buahan ini, Bang.”
Jalung      : “Ayo…” jawabnya dengan penuh semangat.
(Kedua anak itu segera memakan buah-buahan sepuas-puasnya hingga kenyang).
Asung      : “Bang, Adek sudah kenyang. Ayo kita lanjut mencari kayu bakar lagi”.
Jalung    : “Abang juga sudah kenyang. Ayolah”. (Mereka pun kembali melanjutkan pekerjaan mereka untuk mencari kayu bakar).
Sebelum senja tiba, mereka telah berhasil mengumpulkan kayu sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Kayu-kayu tersebut mereka angkut sedikit demi sedikit pulang kerumah. Setelah menyusun kayu-kayu di kolong rumah, mereka segera naik kerumah dan ingin melapor kepada sang ibu tiri. Betapa terkejutnya mereka mendapati seluruh isi rumah telah kosong.
Adegan 6
Jalung   : “Adek, ayah dan ibu telah pergi meninggalkan kita. Lihatlah semua harta benda dirumah ini telah mereka bawa semua.” (Ujar sang kakak dengan terkejut dan bingung).
Aseng   : “Apa…….? Benarkah itu, Bang? Mengapa mereka bisa setega itu dengan kita? Mengapa ayah sedikitpun tidak merasa kasihan dengan kita?” (tanya sang adik dengan penuh kekesalan dan kesedihan hingga mereka menangis dengan sekeras-kerasnya).
(Tak berapa lama kemudian, para tetanggapun berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi).
Tetangga 1 : “Mengapa kalian menangis, Nak? Apa yang telah terjadi dengan kalian?” (tanya tetangga penuh kebingungan).
Jalung      : “Kami baru saja pulang dari mencari kayu bakar di hutan dan setelah kami tiba dirumah ternyata ayah dan ibu tidak ada. Mereka pergi meninggalkan kami berdua dengan membawa semua harta benda yang ada”.
Tetangga 2 : “Tega sekali orang tua kalian. Mengapa bisa-bisanya mereka melakukan hal ini kepada anaknya sendiri.”
Asung          : “Kami juga tidak tahu mengapa mereka bisa setega ini kepada kami.”
Tetangga 1   : “Untuk sementara waktu sebaiknya kalian tinggal saja dulu dirumah saya.”
Jalung        : “Tidak, Bu. Terimakasih, kami takut merepotkan keluarga ibu.” Ujar Sang Abang kepada tetangga.
Tetangga 2   : “Lalu, apa yang akan kalian lakukan setelah ini, Nak?”
Jalung      : “Kami akan berusaha mencari kedua orang tua kami karena kami yakin mereka masih berada di kota ini.”
(Keesokkan harinya).
Asung           : “Bu, saya dan abang saya mau pamitan karena kami akan segera berangkat.”
Tetangga 1  : “Baiklah, Nak! Hati-hati ya kalian. Ini ada sedikit makanan yang dapat kalian bawa untuk kalian makan jika kalian lapar di tengah jalan.”
Jalung         : “Terimakasih banyak ya, Bu! Kami pamit dulu.” (Sambil menyalami semua tetangga yang ada di depan rumahnya).
            Sudah dua hari kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan orang tua mereka. Pada hari ketiga, tibalah mereka di tepi Sungai Mahakam. Mereka melihat asap api mengepul disebuah pondok yang terletak ditepi sungai. Setibanya disana, mereka mendapati seorang nenek sedang duduk-duduk di depan pondok.
Adegan 7
Jalung       : “Maaf, Nek. Bolehkah kami bertanya kepada kakek?” (Sapa si anak laki-laki sambil memberi hormat kepada penghuni gubuk reot itu).
Nenek        : “Apa yang bisa aku bantu, Cucuku?”
Asung        : “Maaf, Nek! Kami sedang mencari kedua orang tua kami. Apakah Nenek pernah melihat seorang laki-laki setengah baya dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?”
Nenek        : ”(Terdiam sejenak sambil mengingat-ingat). Hmmm…..,Beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami istri yang lewat di tempat ini dan membawa banyak barang-barang. Bahkan mereka sempat mampir ke gubuk Nenek untuk meminta air minum karena kehausan. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
Jalung & Asung  : “Benarkah yang Nenek katakan itu?” Tidak salah lagi mereka adalah orang tua kami, Nek!” (Seru kedua anak itu serentak).
Jalung       : “Apakah Nenek tahu kemana tujuan mereka?” tanya Si Jalung.
Nenek     : “Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok serta perkebunan baru. Cobalah kalian cari diseberang sana.” Jelas Nenek itu.
Asung       : “Terimakasih atas bantuannya ya, Nek. Tapi bisakah Nenek mengantarkan kami keseberang sungai itu?”
Nenek    : “Nenek ini sudah tua mana kuat lagi mendayung perahu. Hehehehe……” (kata si Nenek sambil tekekeh). “Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
Jalung  : “Terimakasih banyak, Nek karena telah menolong kami. Kami berjanji akan mengembalikan perahu ini setelah menemukan orang tua kami.”
Nenek      : “Iya sama-sama, Cucuku! Berhati-hatilah.”
Setelah mengucapkan terimakasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju keseberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orang tua mereka. Akhirnya, mereka sampai diseberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya. Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang terlihat baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu.
Jalung       : “Abang yakin ayah dan ibu pasti ada di dalam pondok itu.” Seru si Jalong.
Asung      : “Abang benar, lihatlah baju yang dijemur disamping pondok itu! Bukankah itu baju ayah yang dulu pernah aku jahit.”
(Tanpa ragu lagi mereka menghampiri pondok itu).
Jalung       : “Ayah, Ibu…….kami datang! (Berkali-kali mereka memanggil tetapi tidak mendapat jawaban).
Akhirnya mereka memberanikan diri memasuki pondok itu. Alangkah senangnya hati mereka karena ternyata barang-barang yang terdapat di dalam pondok itu adalah milik ayah mereka. Melihat asap masih mengepul di dapur, si Jalung segera memeriksanya karena mengira kedua orang tua mereka sedang memasak di dapur. Namun, ketika masuk ke dapur ia hanya mendapati sebuah panci yang hanya berisi nasi yang sudah menjadi bubur diatas api. Sepertinya orang tua mereka terburu-buru saat meninggalkan pondok, sehingga lupa mengangkat panci tersebut. Karena kelaparan, Si Jalung langsung melahap nasi bubur yang masih panas tersebut. Tak lama kemudian, Si Asung menyusul abangnya dan ikut melahap nasi tersebut hingga habis.
Adegan 8
Jalung     : “Sebaiknya kita masuk saja ke dalam pondok. Siapa tahu ayah dan Ibu ada di dalam.”
Asung        : “Benar sekali, Bang. Ayo kita segera masuk.”
Jalung    : “Ternyata benar, Dek. Ini barang-barang milik ayah kita. Ada apa di dapur itu, mengapa ada asap yang masih mengepul?” tanya si Jalung kebingungan. Ternyata ada sebuah panci yang terisi nasi yang telah menjadi bubur.” (kemudian kedua anak itu segera menyantap bubur tersebut. 
            Tak lama kemudian, tiba-tiba kedua anak itu merasakan sesuatu yang aneh. Suhu badan mereka tiba-tiba meningkat dan rasanya panas sekali bagaikan terbakar api. Dengan panik, kedua anak itu berlari mencari air. Semua air di tempayan habis mereka gunakan, tapi suhu badan mereka justru semakin tinggi. Mereka pun berlari menuju sungai. Setiap pohon pisang yang mereka jumpai mereka peluk untuk mendinginkan badan mereka tetapi pohon tersebut malah menjadi layu. Begitu tiba di tepi sungai, mereka langsung terjun ke dalam air. Tak berapa lama kemudian, kedua anak itu menjelma menjadi dua ekor ikan yang kepalanya menyerupai kepala manusia.
Asung       : “Abang………apa yang telah terjadi dengan kita? Panaaaaaasss…….”
Jalung       : “Tolooooong………Panaaaaasssss…….!!!!
            Sementara itu, ayah dan ibu tiri kedua anak itu baru saja pulang dari ladang. Betapa terkejutnya Sang Ayah ketika masuk ke dalam pondoknya, ia menemukan sebuah bungkusan dan dua buah mandau milik anaknya. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas turun dari pondok untuk mencari kedua anaknya dengan mengikuti jalan menuju sungai. Setibanya ditepi sungai, ia melihat dua ekor ikan yang bergerak kesana-kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul dipermukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Ketika ia akan memberitahukan hal itu kepada istrinya, ternyata sang Istri barunya menghilang secara gaib. Akibatnya, lelaki setengah baya itu pun sadar bahwa istri barunya itu bukanlah manusia biasa. Sang Istri memang tidak pernah menceritakan asal-usulnya. Sang Ayah pun menyesal karena karena telah menelantarkan kedua anak kandungnya sehingga berubah menjadi ikan.
Ayah       : “Apa yang telah terjadi? Ini adalah Mandau milik anak-anakku (tanya sang Ayah sambil memegang Mandau itu). Dimana anak-anakku?”
(Setibanya di tepi sungai).
Ayah          : “Makhluk apa itu? Baru kali ini aku melihatnya?” (kemudian sang Ayah bergegas pulang ke pondok untuk memberitahukan istrinya tetapi sang Istri menghilang). Lung....dimana kamu? Mengapa kamu tiba-tiba menghilang begitu saja? Apa yang telah terjadi? (kemudian sang Ayah menangis dan menyesali apa yang telah ia lakukan terhadap anak-anaknya). Aku menyesal……!!!! Sungguh-sungguh menyesal. Maafkan Ayah wahai anak-anakku…….!!!!  
            Penduduk yang mendengar hal itupun berbondong-bondong ke tepi Sungai Mahakam untuk menyaksikan kedua ekor ikan yang kepalanya mirip kepala manusia itu. Mereka memastikan air semburan kedua makhluk itu sangat panas dan dapat mematikan ikan-ikan kecil disekitarnya. Sekian.
Pesan moral yang terdapat dalam legenda ini adalah akibat buruk dari sifat orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya. Hal ini digambarkan oleh sikap dan perilaku sang ayah yang telah pergi meninggalkan kedua anaknya, karena lebih memilih istri barunya. Akibatnya, kedua anaknya terlantar dan berubah menjadi ikan pesut. Dari sini dapat dipetik suatu pelajaran bahwa berubahnya kedua anak tersebut menjadi seekor ikan adalah akibat kelalaian sang ayah dalam melindungi dan menjaga mereka. Dalam kehidupan orang melayu, orang tua seperti ini, disebut tidak tahu diri, tak bertanggungjawab dan tak beradat, sehingga kelak diakhirat akan menanggung akibat kelalaiannya.


----THE END----








2 komentar: