CERITA RAKYAT KALIMANTAN TIMUR
Judul
: Legenda Pesut
Mahakam
Pemeran
/ Tokoh : 1. Ayah (Usat) 5.
Anak Perempuan (Asung)
2. Ibu
kandung 6.
Sesepuh desa
3. Ibu tiri
(Lung) 7.
Nenek
4. Anak
laki-laki (Jalung) 8.
Tetangga 1 dan 2
Legenda
Pesut Mahakam
Alkisah, disebuah dusun di Rantau Mahakam,
Kalimantan Timur, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu,
serta seorang anak laki-laki dan anak perempuan. Keluarga tersebut senantiasa
hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Sang ayah seorang
kepala keluarga yang arif dan bijaksana, sedangkan ibu sangat terampil dan cekatan
dalam mengurus rumah tangga. Kebutuhan hidup mereka tercukupi dari hasil
menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran di kebun. Suatu hari ayah
mengajak sang anak laki-lakinya ke kebun. Berikut kisahnya.
Adegan 1
Ayah : “Nak,
bagaimana kalau hari ini bantu Ayah sama Ibu di kebun?”
Jalung : “Baiklah
Ayah”.
Asung : “Tapi bagaimana
dengan putri dan Ibu, apakah kami ikut juga ke kebun?”
Ayah : “Tidak usah, nanti kalian menyusul dan
membawa bekal makan siang untuk Ayah dan Abangmu saja ya”.
Asung : “Baiklah
kalau begitu”.
(Matahari semakin tinggi dan menunjukkan jam makan
siang. Merekapun segara beristirahat dan menyantap makanan yang telah
disediakan ibu dan putri).
Ibu : “Makan
siangnya sudah siap Ayah , mari kita makan”.
Jalung : “Waaahh….. harum sekali aroma masakan ibu,
ini pasti enak (dengan wajah yang senang dan tidak sabar ingin segera menyantap
masakan ibu)”.
Ayah, Ibu, Asung : “(tersenyum
bahagia melihat tingkah sang kakak yang sudah tidak sabar ingin segera makan)”.
(Mereka pun menikmati menu makan siang yang
sederhana ditengah kebun yang indah penuh dengan tanaman buah dan sayuran).
Pada suatu hari, sang ibu terserang sebuah penyakit
aneh. Tiba-tiba sang ibu terjatuh disaat sedang memasak sarapan pagi di dapur
dan Lukut melihat sang ibu sudah tergeletak lemas dilantai dapur.
Adegan 2
Asung : “Ibuuuuuuuu….!!!!
(Sambil berteriak dengan wajah panik)”.
(Ayah dan Jalong pun mendengar suara teriakan Lukut
dan segera menghampirinya).
Ayah : “Kenapa
dengan Ibu mu, Nak? (dengan raut wajah panik)”.
Asung : “Lukut
tidak tau, Ayah! Tiba-tiba Lukut melihat Ibu sudah tergeletak di lantai”.
Jalung : “Ya
sudah. Sebaiknya kita bawa saja Ibu ke kamar”.
Ayah : “Iya
nak bantu Ayah”.
Jalung : “ Ayah,
bagaimana kalau kita panggil saja tabib untuk periksa ibu”.
Ayah : “Baiklah
nak”.
(Akhirnya sudah banyak tabib yang telah mengobati
sang ibu, namun penyakitnya tak kunjung sembuh dan akhinya ia meninggal dunia).
Jalung & Asung : “Ibuuuuuuuuuuu, bangun Bu….!!!
Jangan tinggalin kami (sambil menangis dengan raut wajah yang sangat sedih
karena tak ingin ditinggalkan seorang ibu).
Ayah : “(Hanya diam dan menangisi kepergian sang
istri)”.
Sejak saat itu, kehidupan keluarga mereka menjadi
berantakan dan tak terurus lagi. Sang ayah dan kedua anaknya terus terlarut
dalam kesedihan. Ayah menjadi pemurung dan suka bermalas-malasan, sedangkan
kedua anaknya kelihatan bingung, tak tau apa yang mereka lakukan. Melihat
kondisi tersebut para sesepuh dusun berusaha membujuk mereka agar tidak larut
dalam kesedihan dan sang ayah kembali mencari nafkah seperti biasa.
Sesepuh dusun
: “Sudahlah, Pak Usat! Hilangkan kesedihanmu itu dan kembalilah bekerja
seperti biasanya. Lihatlah kedua anakmu itu mereka terlihat semakin kurus
karena kurang makan !”.
Ayah : “(Hanya
diam dan tak menghiraukan nasihat sesepuh itu)”.
Keadaan tersebut berlangsung hingga satu musim dari
musim tanam hingga musim panen dan seperti biasanya musim panen tiba dusun
tersebut mengadakan pesta adat yang diisi dengan beranekaragam pertunjukan
ketangkasan dan kesenian selama tujuh hari tujuh malam.
Adegan 3
Sesepuh dusun : “Pak Usat! Kenapa tidak ikut
menyaksikan pesta adat? Disana ada seorang penari cantik, pandai dan gemulai menari yang mengisi
acaranya”.
Ayah :
“Benarkah? (Dengan penuh semangat ingin menyaksikan pertunjukan tersebut).
Sesepuh dusun : “Iya benar, Pak?”.
Akhirnya sang ayah pun dengan penuh semangat
berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan menari. Ia sengaja
berdiri paling depan agar dapat menyaksikan tarian serta wajah gadis itu dengan
jelas. Gerakan tubuhnya yang lemah-lembut dan gemulai benar-benar mengundang kekaguman
para penonton. Lain halnya dengan sang ayah yang hanya sesekali tersenyum . Pandangan
matanya senantiasa tertuju kepada wajah cantik gadis itu tanpa bergeming
sedikitpun. Sebaliknya, pandangan gadis itu tertuju kepada sang ayah sambil
melemparkan senyum manisnya. Pada saat itulah jantung sang ayah berdetak
kencang, rupanya ia jatuh cinta kepada gadis itu begitupun sebaliknya. Tak lama
kemudian sang ayah dan gadis itupun berkenalan.
Ayah : “Wah…..Pertunjukan
narinya bagus sekali (sambil tersenyum)”.
Lung : “Terimakasih,
Bang (tersipu malu)”.
Ayah : “Kalau
abang boleh tau namanya siapa?” (tanya Ayah sambil mennyalaminya).
Lung : “Nama
saya Lung. Abang namanya siapa?”
Ayah : “Nama yang cantik, cantik seperti wajahnya,
nama saya Asut. Lung, dari awal Abang menyaksikan pertujukan nari dan melihat
wajah Lung yang sangat cantik membuat abang jatuh hati”.
Lung : “Iya,
Bang. Lung juga merasakan hal yang sama (sambil tersipu malu)”.
Ayah : “Tapi
abang sudah mempunyai dua org anak. Apakah Lung bersedia membantu abang untuk
merawat mereka?”
Lung : “Tentu
saja, Bang. Lung berjanji akan menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri.
Setelah mendapat restu dari sesepuh kampung,
akhirnya mereka menikah. Setelah menikah dengan gadis itu sang Ayah tidak
pernah murung lagi dan bermalas-malasan, begitu juga dengan kedua anaknya.
Namun, beberapa bulan kemudian keluarga itu diguncang prahara. Sang Ibu Tiri
ternyata mengingkari janjinya untuk menyayangi kedua anak tirinya. Sang Ibu Tiri
menjadi lebih kasar dan suka memarahi kedua anak tirinya. Sang Ayah yang
mengetahui perilaku istrinya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa karena ia
sangat mencintai istrinya.
Adegan 4
(Pada saat makan siang, sang Ibu melarang kedua anak
tirinya untuk makan bersama).
Ibu Tiri : “Mengapa
kalian duduk disini?” (Dengan wajah penuh kebencian).
Jalung & Asung : “Kami juga mau makan, Bu.” (Dengan
serentak menjawab).
Ibu Tiri :
“Kalian tidak boleh makan disini lagi!” (Dengan suara keras).
Jalung : “Kenapa kami tidak boleh makan disini?
Biasanya juga kami makan disini kan.
Ibu Tiri : “Mulai sekarang kalian tidak pantas makan
disini lagi, ini makanan yang pantas buat kalian. Mengerti !!!” (Sambil menyodorkan sisa-sisa
makanan).
Asung : “Ibu…mengapa
Ibu jadi seperti ini? Apa salah kami, Bu?” (Dengan sedih bertanya pada ibu tirinya).
Ibu Tiri : “Sudah jangan banyak tanya lagi. Cepat
kalian bawa makanan sisa ini dan makan ditempat lain”.
Jalung &
Asung : “Baiklah, Ibu.” (Dengan wajah murung merekapun pergi).
Ayah :
“(Sang Ayah tidak dapat berbicara apa-apa dan hanya terdiam saja)”.
Sejak saat itu, segala urusan rumah
tangga ditangani oleh sang Ibu Tiri. Setiap hari sang Ibu menyuruh kedua anak
tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan, bahkan ia sering menyuruh mereka
untuk mengerjakan hal-hal diluar kemampuan mereka. Pada suatu hari, sang Ibu Tiri
membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu
bakar dihutan dengan jumlah yang banyak.
Ibu Tiri : “Hei pemalas…..! Carilah kayu bakar ke
hutan. Kalian harus mengumpulkan kayu bakar yang jumlahnya tiga kali lipat dari
yang kalian peroleh kemarin. Ingat….!!! Jika kalian pulang sebelum mengumpulkan
kayu sebanyak itu maka kalian tidak akan mendapat makan hari ini (ancam sang
Ibu Tiri).
Jalung :
“Maaf, Bu. Untuk apa kayu bakar sebanyak itu? Bukankah kayu bakar kita masih
banyak? Kalau kayunya mau habis barulah kami akan mencarinya lagi”.
Ibu Tiri : “Dasar anak pemalas. Rupanya kalian sudah
berani membantah Ibu ya? Awas nanti
saya laporkan kepada Ayah kalian bahwa kalian pemalas.” (Sang Ibu Tiri
kembali mengancam kedua anaknya).
(Tanpa berkata apa-apa, si anak perempuan segera
menarik tangan kakaknya. Ia menyadari bahwa ayah mereka telah dipengaruhi oleh
sang ibu tiri).
Asung : “Sudahlah, Bang! Kita turuti saja perintah Ibu.
Tidak ada gunanya kita membantah karena kita tetap akan dipermasalahkan.” Ujar
sang adik dengan suara pelan.
Setelah menyiapkan beberapa perlengkapan,
berangkatlah mereka ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setibanya di hutan,
mereka segera mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya tanpa mengenal lelah.
Namun, hingga hari menjelang sore, mereka belum mengumpulkan kayu bakar
sebanyak yang ibu tirinya minta. Karena takut dimarahi, akhirnya mereka memutuskan
untuk menginap di hutan. Mereka tidur di dalam sebuah gubuk reot untuk
berlindung dari cuaca dingin. Keesokan harinya, kedua anak itu kembali
mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Namun, ketika hari menjelang siang,
kedua anak itu tiba-tiba tergeletak di tanah karena tidak kuat lagi menahan
rasa lapar. Untungnya, ada seorang nenek yang sedang melintas di tempat itu dan segera
menolong mereka.
Adegan 5
Asung : “Ibu, kami berangkat dulu ya.
Assalamualaikum.”
Ibu Tiri : Iya, pergilah dan jangan kembali jika
kalian belum mendapatkan kayu bakar yang banyak. Wa’alaikumsalam (Ibu menjawab dengan
ketus. Ia merasa senang dan tertawa kecil bisa membohongi kedua anak itu).
Hahaha….. kalian tidak mungkin akan bertemu kami lagi (sambung sang Ibu
berbicara sendiri).
(Sesampainya di hutan).
Jalung : “Adek,
ayo kita segera mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya biar kita bisa cepat pulang”.
Asung : “Iya,
Bang. Adek juga berusaha mencari kayu bakar ini sebanyak-banyaknya”.
Jalung : “Hehehe…..semangat ya, Dek!” ujar sang abang
sambil mengguraui adiknya”.
Asung : “Iya, abang juga semangat ya”. (Balas
adiknya sambil tersenyum).
Jalung : “Adek belum capek ya? Ini sudah sore,
sebaiknya kita pulang saja”.
Asung : “Bagaimana kita bisa pulang, Bang?
Sedangkan kayu bakar ini saja belum terkumpul sesuai dengan yang ibu minta.
Bisa-bisa kita dimarahi lagi”.
Jalung :
“Iya, Dek. Kamu benar juga (terdiam sejenak lalu memutuskan untuk menginap).
Bagaimana kalau kita menginap saja di hutan ini?”
Asung : “Mau menginap dimana, Bang?”
Jalung : “Kita
menginap saja di gubuk itu, yang penting kita bisa tidur malam ini”.
Asung : “Baiklah,
Bang. Ayo kita segera ke gubuk itu.” (Dengan cepat mereka berjalan menuju
gubuk).
(Keesokan harinya).
Asung : “Bang, ayo bangun. Mataharinya sudah mulai
terang. Ayo kita cari kayu bakar lagi”.
Jalung : “Iya,
Dek. Ayo kita berangkat.” (Segera bangun dan langsung keluar dari gubuk dan
melanjutkan pekerjaan mencari kayu bakar).
Asung : “Bagaimana, Bang? Sudah banyak yang
terkumpul kayu bakarnya?”.
Jalung : “Sudah lumayan sih tapi belum sesuai dengan
permintaan ibu”.
Asung : “Bang,
Adek lapar nih! Dari kemarin kita belum makan sedikitpun.” Ujar sang adik
dengan lemah.
Jalung : “Iya, Dek! Abang juga terasa lapar nih. Kita
tidak membawa bekal sedikitpun”.
(Tak berapa lama kemudian, kedua anak tersebut
pingsan dan tergeletak di tanah kaena tidak kuat lagi menahan rasa lapar.
Tiba-tiba melintas seorang nenek).
Nenek : Astagfirullah..!!! Anak siapa ini?” ujar
sang kakek yang terkejut. Kasihan sekali mereka sebaiknya aku bawa saja anak
ini ke bawah pohon itu (dengan segera nenek membawa kedua anak tersebut dan
berusaha menyadarkan mereka yang pingsan).
(Tak berapa lama kemudia, kedua anak malang itupun
tersadar).
Jalung :
“Kita dimana ini? Mengapa kita berada ditempat ini?” tanya sang abang. Nenek
siapa?” tanyanya lagi ketika melihat seorang nenek yang tak dikenalnya.
Nenek : “Tenanglah, Cucuku! Nenek yang membawa
kalian ke tempat ini. Nenek menemukan kalian sedang tergeletak dan tak sadarkan
diri ditengah hutan ini. Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan ditempat ini?
Asung : “Nama saya Asung dan ini abang saya Jalung.
Kami sedang mencari kayu bakar. Dari kemarin kami telah berada dihutan ini dan
dari kemarin juga kami belum makan dan minum sedikitpun, Nek. Kami disuruh ibu
tiri kami untuk mencari kayu bakar tiga kali lipat dari biasanya. Jika semuanya
belum terkumpul maka kami tidak boleh pulang kerumah. Namun, sampai sekarang
kami belum juga mendapatkan kayu bakar yang banyak.” Ujar sang adik dengan
sedih.
Nenek : “Kasihan sekali kalian, Cucuku….! Kalau
begitu sebaiknya kalian pergi saja kearah rimbunan pohon itu karena disana
banyak terdapat buah-buahan. Makanlah buah itu sepuas-puasnya sampai kalian
kenyang dan kembali segar. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya
karena akan sia-sia saja.” Ujar Sang nenek.
Jalung :
“Benarkah perkataanmu ini, Nek?”.
Nenek :
“Iya, Cucuku! Segeralah kalian pergi ke rimbunan pohon itu”.
Asung : “Baiklah, Nek. Terimakasih banyak karena
telah membantu kami berdua”.
Nenek :
“Sama-sama Cucuku! Pergilah segera”.
Jalung :
“Iya, Nek.” (Dengan segera kedua anak tersebut langsung bergegas menuju
rimbunan pohon).
(Setibanya dibawah rimbunan pohon, kedua anak itu
mendapati beraneka jenis pohon yang sedang berbuah. Ada pohon durian, nangka,
cempedak, manga, dan papaya yang tampak berserakan ditanah).
Asung : “Waaaaah…….! Banyak sekali buah-buahan di
tempat ini, Bang”.
Jalung : “Iya, Dek. Perut Abang jadi semakin lapar
nih…. Hehehe.” Ujar sang Abang sambil tertawa kecil.
Asung : “Ya sudah, ayo kita makan buah-buahan ini,
Bang.”
Jalung : “Ayo…” jawabnya dengan penuh semangat.
(Kedua anak itu segera memakan buah-buahan
sepuas-puasnya hingga kenyang).
Asung : “Bang, Adek sudah kenyang. Ayo kita lanjut
mencari kayu bakar lagi”.
Jalung : “Abang juga sudah kenyang. Ayolah”.
(Mereka pun kembali melanjutkan pekerjaan mereka untuk mencari kayu bakar).
Sebelum senja tiba, mereka telah berhasil
mengumpulkan kayu sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Kayu-kayu tersebut
mereka angkut sedikit demi sedikit pulang kerumah. Setelah menyusun kayu-kayu
di kolong rumah, mereka segera naik kerumah dan ingin melapor kepada sang ibu
tiri. Betapa terkejutnya mereka mendapati seluruh isi rumah telah kosong.
Adegan 6
Jalung :
“Adek, ayah dan ibu telah pergi meninggalkan kita. Lihatlah semua harta benda
dirumah ini telah mereka bawa semua.” (Ujar sang kakak dengan terkejut dan
bingung).
Aseng : “Apa…….? Benarkah itu, Bang? Mengapa
mereka bisa setega itu dengan kita? Mengapa ayah sedikitpun tidak merasa kasihan
dengan kita?” (tanya sang adik dengan penuh kekesalan dan kesedihan hingga
mereka menangis dengan sekeras-kerasnya).
(Tak berapa lama kemudian, para tetanggapun
berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi).
Tetangga 1 : “Mengapa
kalian menangis, Nak? Apa yang telah terjadi dengan kalian?” (tanya tetangga
penuh kebingungan).
Jalung :
“Kami baru saja pulang dari mencari kayu bakar di hutan dan setelah kami tiba
dirumah ternyata ayah dan ibu tidak ada. Mereka pergi meninggalkan kami berdua
dengan membawa semua harta benda yang ada”.
Tetangga 2 : “Tega
sekali orang tua kalian. Mengapa bisa-bisanya mereka melakukan hal ini kepada
anaknya sendiri.”
Asung : “Kami juga tidak tahu mengapa mereka bisa
setega ini kepada kami.”
Tetangga 1 : “Untuk sementara waktu sebaiknya kalian
tinggal saja dulu dirumah saya.”
Jalung : “Tidak, Bu. Terimakasih, kami takut
merepotkan keluarga ibu.” Ujar Sang Abang kepada tetangga.
Tetangga 2 :
“Lalu, apa yang akan kalian lakukan setelah ini, Nak?”
Jalung :
“Kami akan berusaha mencari kedua orang tua kami karena kami yakin mereka masih
berada di kota ini.”
(Keesokkan harinya).
Asung : “Bu, saya dan abang saya mau pamitan
karena kami akan segera berangkat.”
Tetangga 1 : “Baiklah, Nak! Hati-hati ya kalian. Ini ada
sedikit makanan yang dapat kalian bawa untuk kalian makan jika kalian lapar di
tengah jalan.”
Jalung :
“Terimakasih banyak ya, Bu! Kami pamit dulu.” (Sambil menyalami semua tetangga
yang ada di depan rumahnya).
Sudah
dua hari kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, namun
belum juga menemukan orang tua mereka. Pada hari ketiga, tibalah mereka di tepi
Sungai Mahakam. Mereka melihat asap api mengepul disebuah pondok yang terletak
ditepi sungai. Setibanya disana, mereka mendapati seorang nenek sedang
duduk-duduk di depan pondok.
Adegan 7
Jalung :
“Maaf, Nek. Bolehkah kami bertanya kepada kakek?” (Sapa si anak laki-laki
sambil memberi hormat kepada penghuni gubuk reot itu).
Nenek : “Apa yang bisa aku bantu, Cucuku?”
Asung :
“Maaf, Nek! Kami sedang mencari kedua orang tua kami. Apakah Nenek pernah
melihat seorang laki-laki setengah baya dan seorang perempuan yang masih muda
lewat disini?”
Nenek : ”(Terdiam
sejenak sambil mengingat-ingat). Hmmm…..,Beberapa hari yang lalu memang ada
sepasang suami istri yang lewat di tempat ini dan membawa banyak barang-barang.
Bahkan mereka sempat mampir ke gubuk Nenek untuk meminta air minum karena
kehausan. Apakah mereka itu yang kalian cari?”
Jalung & Asung : “Benarkah yang Nenek katakan itu?” Tidak
salah lagi mereka adalah orang tua kami, Nek!” (Seru kedua anak itu serentak).
Jalung :
“Apakah Nenek tahu kemana tujuan mereka?” tanya Si Jalung.
Nenek :
“Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang
mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok serta
perkebunan baru. Cobalah kalian cari diseberang sana.” Jelas Nenek itu.
Asung :
“Terimakasih atas bantuannya ya, Nek. Tapi bisakah Nenek mengantarkan kami
keseberang sungai itu?”
Nenek : “Nenek ini sudah tua mana kuat lagi mendayung
perahu. Hehehehe……” (kata si Nenek sambil tekekeh). “Kalau kalian ingin
menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu.”
Jalung : “Terimakasih banyak, Nek karena telah
menolong kami. Kami berjanji akan mengembalikan perahu ini setelah menemukan
orang tua kami.”
Nenek :
“Iya sama-sama, Cucuku! Berhati-hatilah.”
Setelah mengucapkan terimakasih, mereka lalu menaiki
perahu dan mendayungnya menuju keseberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang
membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orang
tua mereka. Akhirnya, mereka sampai diseberang dan menambatkan perahu tersebut
dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut
kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali
penduduknya. Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang terlihat baru dibangun.
Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu.
Jalung :
“Abang yakin ayah dan ibu pasti ada di dalam pondok itu.” Seru si Jalong.
Asung : “Abang benar, lihatlah baju yang
dijemur disamping pondok itu! Bukankah itu baju ayah yang dulu pernah aku
jahit.”
(Tanpa ragu lagi mereka menghampiri pondok itu).
Jalung : “Ayah, Ibu…….kami datang!
(Berkali-kali mereka memanggil tetapi tidak mendapat jawaban).
Akhirnya mereka memberanikan diri memasuki pondok
itu. Alangkah senangnya hati mereka karena ternyata barang-barang yang terdapat
di dalam pondok itu adalah milik ayah mereka. Melihat asap masih mengepul di
dapur, si Jalung segera memeriksanya karena mengira kedua orang tua mereka
sedang memasak di dapur. Namun, ketika masuk ke dapur ia hanya mendapati sebuah
panci yang hanya berisi nasi yang sudah menjadi bubur diatas api. Sepertinya
orang tua mereka terburu-buru saat meninggalkan pondok, sehingga lupa
mengangkat panci tersebut. Karena kelaparan, Si Jalung langsung melahap nasi
bubur yang masih panas tersebut. Tak lama kemudian, Si Asung menyusul abangnya
dan ikut melahap nasi tersebut hingga habis.
Adegan 8
Jalung : “Sebaiknya kita masuk saja ke dalam
pondok. Siapa tahu ayah dan Ibu ada di dalam.”
Asung :
“Benar sekali, Bang. Ayo kita segera masuk.”
Jalung :
“Ternyata benar, Dek. Ini barang-barang milik ayah kita. Ada apa di dapur itu,
mengapa ada asap yang masih mengepul?” tanya si Jalung kebingungan. Ternyata
ada sebuah panci yang terisi nasi yang telah menjadi bubur.” (kemudian kedua
anak itu segera menyantap bubur tersebut.
Tak
lama kemudian, tiba-tiba kedua anak itu merasakan sesuatu yang aneh. Suhu badan
mereka tiba-tiba meningkat dan rasanya panas sekali bagaikan terbakar api.
Dengan panik, kedua anak itu berlari mencari air. Semua air di tempayan habis
mereka gunakan, tapi suhu badan mereka justru semakin tinggi. Mereka pun
berlari menuju sungai. Setiap pohon pisang yang mereka jumpai mereka peluk
untuk mendinginkan badan mereka tetapi pohon tersebut malah menjadi layu.
Begitu tiba di tepi sungai, mereka langsung terjun ke dalam air. Tak berapa
lama kemudian, kedua anak itu menjelma menjadi dua ekor ikan yang kepalanya
menyerupai kepala manusia.
Asung :
“Abang………apa yang telah terjadi dengan kita? Panaaaaaasss…….”
Jalung :
“Tolooooong………Panaaaaasssss…….!!!!
Sementara
itu, ayah dan ibu tiri kedua anak itu baru saja pulang dari ladang. Betapa
terkejutnya Sang Ayah ketika masuk ke dalam pondoknya, ia menemukan sebuah
bungkusan dan dua buah mandau milik anaknya. Tanpa berpikir panjang, ia
bergegas turun dari pondok untuk mencari kedua anaknya dengan mengikuti jalan
menuju sungai. Setibanya ditepi sungai, ia melihat dua ekor ikan yang bergerak
kesana-kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul dipermukaan dan
menyemburkan air dari kepalanya. Ketika ia akan memberitahukan hal itu kepada
istrinya, ternyata sang Istri barunya menghilang secara gaib. Akibatnya, lelaki
setengah baya itu pun sadar bahwa istri barunya itu bukanlah manusia biasa.
Sang Istri memang tidak pernah menceritakan asal-usulnya. Sang Ayah pun
menyesal karena karena telah menelantarkan kedua anak kandungnya sehingga
berubah menjadi ikan.
Ayah :
“Apa yang telah terjadi? Ini adalah Mandau milik anak-anakku (tanya sang Ayah
sambil memegang Mandau itu). Dimana anak-anakku?”
(Setibanya di tepi sungai).
Ayah
: “Makhluk apa itu? Baru kali ini aku melihatnya?” (kemudian sang Ayah
bergegas pulang ke pondok untuk memberitahukan istrinya tetapi sang Istri
menghilang). Lung....dimana kamu? Mengapa kamu tiba-tiba menghilang begitu
saja? Apa yang telah terjadi? (kemudian sang Ayah menangis dan menyesali apa
yang telah ia lakukan terhadap anak-anaknya). Aku menyesal……!!!!
Sungguh-sungguh menyesal. Maafkan Ayah wahai anak-anakku…….!!!!
Penduduk
yang mendengar hal itupun berbondong-bondong ke tepi Sungai Mahakam untuk
menyaksikan kedua ekor ikan yang kepalanya mirip kepala manusia itu. Mereka memastikan
air semburan kedua makhluk itu sangat panas dan dapat mematikan ikan-ikan kecil
disekitarnya. Sekian.
Pesan moral yang terdapat dalam legenda ini adalah
akibat buruk dari sifat orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya. Hal ini
digambarkan oleh sikap dan perilaku sang ayah yang telah pergi meninggalkan
kedua anaknya, karena lebih memilih istri barunya. Akibatnya, kedua anaknya
terlantar dan berubah menjadi ikan pesut. Dari sini dapat dipetik suatu
pelajaran bahwa berubahnya kedua anak tersebut menjadi seekor ikan adalah
akibat kelalaian sang ayah dalam melindungi dan menjaga mereka. Dalam kehidupan
orang melayu, orang tua seperti ini, disebut tidak tahu diri, tak
bertanggungjawab dan tak beradat, sehingga kelak diakhirat akan menanggung akibat
kelalaiannya.
----THE END----
Izin copas boleh ka buat tugas
BalasHapusIzin Copas boleh ka buat tugas
BalasHapus