Bab I
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Galaksi adalah sebuah sistem
masif yang terikat gaya gravitasi yang terdiri atas bintang
(dengan segala bentuk manifestasinya, antara lain bintang neutron dan lubang hitam),
gas dan debu medium antarbintang, dan materi gelap–komponen
yang penting namun belum begitu dimengerti. Kata galaksi berasal dari bahasa Yunani
galaxias (γαλαξίας), yang berarti "seperti susu," yang merujuk
pada galaksi Bima Sakti (bahasa
Inggris: Milky Way [jalan susu]). Galaksi yang ada berkisar
dari galaksi katai
dengan hanya sepuluh juta bintang hingga galaksi raksasa dengan
seratus triliun bintang, yang
semuanya mengorbit pada pusat massa galaksi masing-masing. Matahari
adalah salah satu bintang dalam galaksi Bima Sakti;
tata surya
termasuk bumi dan semua benda yang mengorbit Matahari.
Tiap galaksi memiliki jumlah sistem
bintang dan gugus bintang yang beragam, demikian juga jenis
awan antarbintangnya. Di antara galaksi-galaksi
ini tersebar medium antarbintang berupa gas, debu, dan sinar kosmis.
Lubang hitam
supermasif terdapat di pusat sebagian besar galaksi. Diperkirakan
lubang hitam supermasif inilah penyebab utama inti galaksi aktif yang
ditemukan pada sebagian galaksi. Galaksi Bima Sakti diketahui memiliki
setidaknya satu lubang hitam supermasif.
Secara historis galaksi
dikelompokkan berdasarkan bentuk terlihatnya atau biasa disebut morfologi
visualnya. Bentuk yang umum adalah galaksi eliptis, yang
memiliki profil cahaya berbentuk elips. Galaksi spiral adalah
galaksi berbentuk cakram dengan lengan galaksi yang melengkunng dan berisi
debu. Galaksi dengan bentuk yang tak beraturan atau tidak biasa disebut galaksi tak beraturan dan
biasanya disebabkan karena gangguan oleh tarikan gravitasi galaksi tetangga.
Interaksi yang demikian antara galaksi-galaksi yang berdekatan dapat
menyebabkan penggabungan, yang terkadang meningkatkan jumlah pembentukan
bintang hingga menghasilkan galaksi starburst.
Kemungkinan terdapat lebih dari
170 miliar (1,7 × 1011) galaksi dalam alam semesta teramati. Sebagian besar
berdiameter 1000 hingga 100.000 parsec dan biasanya dipisahkan oleh jarak beberapa juta parsec
(atau megaparsec). Ruang antargalaksi diisi
oleh gas tipis dengan kerapatan massa kurang dari satu atom per meter kubik. Sebagian
besar galaksi diorganisasikan ke dalam sebuah hirarki himpunan yang disebut kelompok dan
gugus, yang pada gilirannya membentuk himpunan yang lebih besar yang
disebut gugus raksasa. Dalam skala terbesar himpunan-himpunan ini
umumnya tersusun dalam lapisan dan untaian yang
dikelilingi oleh kehampaan yang sangat luas.
Meskipun belum dipahami secara
menyeluruh, materi gelap kemungkinan menyusun sekitar 90%
dari massa
sebagian besar galaksi. Data pengamatan menunjukkan lubang hitam
supermasif kemungkinan ada di pusat dari banyak (kalau tidak semua)
galaksi.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Evolusi dan
distribusi Galaksi itu bisa terjadi ?
2. Penyebab terjadinya kelimpahan unsur-unsur
primordial ?
BAB
II
1.
Sejarah dan
perkembangan teori
Teori ledakan dahsyat dikembangkan
berdasarkan pengamatan pada stuktur alam semesta beserta pertimbangan
teoritisnya. Pada tahun 1912, Vesto Slipher adalah orang yang pertama mengukur efek Doppler pada "nebula spiral" (nebula spiral merupakan istilah
lama untuk galaksi
spiral), dan kemudian diketahui bahwa hampir semua
nebula-nebula itu menjauhi bumi. Ia tidak berpikir lebih jauh lagi mengenai
implikasi fakta ini, dan sebenarnya pada saat itu, terdapat kontroversi apakah
nebula-nebula ini adalah "pulau semesta" yang berada di luar galaksi Bima Sakti.
Sepuluh tahun kemudian, Alexander Friedmann, seorang
kosmologis dan matematikawan Rusia, menurunkan persamaan
Friedmann dari persamaan relativitas umum Albert Einstein. Persamaan ini
menunjukkan bahwa alam semesta mungkin mengembang dan berlawanan dengan model
alam semesta yang statis seperti yang diadvokasikan oleh Einstein pada saat
itu.
Pada tahun 1924, pengukuran Edwin
Hubble akan jarak nebula spiral terdekat menunjukkan bahwa ia
sebenarnya merupakan galaksi lain. Georges
Lemaître kemudian secara independen menurunkan persamaan
Friedmann pada tahun 1927 dan mengajukan bahwa resesi nebula yang isiratkan
oleh persamaan tersebut diakibatkan oleh alam semesta yang mengembang.
Pada tahun 1931 Lemaître lebih jauh
lagi mengajukan bahwa pengembangan alam semesta seiring dengan berjalannya
waktu memerlukan syarat bahwa alam semesta mengerut seiring berbaliknya waktu
sampai pada suatu titik di mana seluruh massa alam semesta berpusat pada satu
titik, yaitu "atom purba" di
mana waktu dan ruang bermula.
Mulai dari tahun 1924, Hubble
mengembangkan sederet indikator jarak yang merupakan cikal bakal tangga jarak kosmis menggunakan
teleskop Hooker 100-inci (2,500 mm) di Observatorium Mount Wilson. Hal ini
memungkinkannya memperkirakan jarak antara galaksi-galaksi yang pergeseran merahnya telah diukur,
kebanyakan oleh Slipher. Pada tahun 1929, Hubble menemukan korealsi antara
jarak dan kecepatan resesi, yang sekarang dikenal sebagai hukum Hubble. Lemaître telah
menunjukan bahwa ini yang diharapkan, mengingat prinsip kosmologi.
Gambaran artis mengenai satelit WMAP yang mengumpulkan berbagai data untuk
membantu para ilmuwan memahami ledakan dahsyat
Semasa tahun 1930-an, gagasan-gagasan
lain diajukan sebagai kosmologi non-standar untuk menjelaskan pengamatan
Hubble, termasuk pula model Milne, alam semesta berayun (awalnya
diajukan oleh Friedmann, namun diadvokasikan oleh Albert Einstein dan Richard Tolman)[22] dan hipotesis cahaya lelah (tired light) Fritz Zwicky.
Setelah Perang Dunia II, terdapat dua
model kosmologis yang memungkinkan. Satunya adalah model
keadaan tetap Fred
Hoyle, yang mengajukan bahwa materi-materi baru tercipta
ketika alam semesta tampak mengembang. Dalam model ini, alam semesta hampirlah
sama di titik waktu manapun.
Model lainnya adalah teori ledakan
dahsyat Lemaître, yang
diadvokasikan dan dikembangkan oleh George Gamow, yang kemudian
memperkenalkan nukleosintesis ledakan dahsyat (Big Bang
Nucleosynthesis, BBN) dan yang kaitkan oleh, Ralph Alpher dan Robert Herman, sebagai radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis (cosmic microwave background radiation, CMB).
Ironisnya, justru adalah Hoyle yang mencetuskan istilah big bang untuk
merujuk pada teori Lemaître dalam suatu siaran radio BBC pada bulan
Maret 1949.
Untuk sementara, dukungan para ilmuwan
terbagi kepada dua teori ini. Pada akhirnya, bukti-bukti pengamatan
memfavoritkan teori ledakan dahsyat. Penemuan dan konfirmasi radiasi latar
belakang gelombang mikro kosmis pada tahun 1964 mengukuhkan ledakan
dahsyat sebagai teori yang terbaik dalam menjelaskan asal usul dan evolusi
kosmos. Kebanyakan karya kosmologi zaman sekarang berkutat pada pemahaman
bagaimana galaksi terbentuk dalam konteks ledakan dahsyat, pemahaman mengenai
keadaan alam semesta pada waktu-waktu terawalnya, dan merekonsiliasi pengamatan
kosmis dengan teori dasar.
Berbagai kemajuan besar dalam kosmologi
ledakan dahsyat telah dibuat sejak akhir tahun 1990-an, utamanya disebabkan
oleh kemajuan besar dalam teknologi teleskop dan analisis
data yang berasal dari satelit-satelit seperti COBE, Teleskop luar angkasa Hubble dan WMAP.
2.
Tinjauan
a.
Garis waktu
ledakan dahsyat
Ekstrapolasi pengembangan alam semesta
seiring mundurnya waktu menggunakan relativitas umum menghasilkan
kondisi masa
jenis dan suhu alam semesta
yang tak terhingga pada suatu waktu pada masa lalu.] Singularitas ini mensinyalkan runtuhnya keberlakuan
relativitas umum pada kondisi tersebut. Sedekat mana kita dapat berekstrapolasi
menuju singularitas diperdebatkan, namun tidaklah lebih awal daripada masa Planck. Fase awal
yang panas dan padat itu sendiri dirujuk sebagai "the Big Bang",
dan dianggap sebagai "kelahiran" alam semesta kita.
Didasarkan pada pengukuran pengembangan
menggunakan Supernova Tipe Ia, pengukuran
fluktuasi temperatur pada latar gelombang mikro kosmis, dan
pengukuran fungsi korelasi galaksi, alam
semesta memiliki usia 13,73 ± 0.12 miliar tahun.[32] Kecocokan
hasil ketiga pengukuran independen ini dengan kuat mendukung model ΛCDM yang mendeskripsikan secara mendetail
kandungan alam semesta.
Fase terawal ledakan dahsyat penuh
dengan spekulasi. Model yang paling umumnya digunakan mengatakan bahwa alam
semesta terisi secara homogen dan isotropis dengan rapatan energi yang sangat tinggi, tekanan dan temperatur yang sangat
besar, dan dengan cepat mengembang dan mendingin. Kira-kira 10−37
detik setelah pengembangan, transisi fase menyebabkan inflasi kosmis, yang sewaktu
itu alam semesta mengembang secara eksponensial. Setelah inflasi berhenti, alam
semesta terdiri dari plasma kuark-gluon beserta partikel-partikel
elementer lainnya.
Temperatur pada saat itu sangat tinggi
sehingganya kecepatan gerak partikel mencapai kecepatan relativitas, dan produksi pasangan segala jenis
partikel terus menerus diciptakan dan dihancurkan. Sampai dengan suatu waktu,
reaksi yang tak diketahui yang disebut bariogenesis melanggar
kekekalan jumlah barion dan menyebabkan jumlah kuark dan lepton lebih banyak
daripada antikuark dan antilepton sebesar satu per 30 juta. Ini menyebabkan
dominasi materi melebihi antimateri pada alam
semesta.
Ukuran alam semesta terus membesar dan
temperatur alam semesta terus menurun, sehingga energi tiap-tiap partikel terus
menurun. Transisi fase perusakan simetri membuat gaya-gaya dasar fisika dan
parameter-parameter partikel
elementer berada dalam kondisi yang sama seperti sekarang. Setelah
kira-kira 10−11 detik, gambaran ledakan dahsyat menjadi lebih jelas
oleh karena energi partikel telah menurun mencapai energi yang bisa dicapai
oleh eksperimen fisika
partikel.
Pada sekitar 10−6 detik,
kuark dan gluon bergabung membentuk barion seperti proton dan neutron. Kuark yang
sedikit lebih banyak daripada antikuark membuat barion sedikit lebih banyak
daripada antibarion. Temperatur pada saat ini tidak lagi cukup tinggi untuk
menghasilkan pasangan proton-antiproton, sehingga yang selanjutnya terjadi
adalah pemusnahan massal, menyisakan hanya satu dari 1010 proton dan
neutron terdahulu. Setelah pemusnahan ini, proton, neutron, dan elektron yang
tersisa tidak lagi bergerak secara relativistik dan rapatan energi alam semesta
didominasi oleh foton (dengan
sebagian kecil berasal dari neutrino).
Beberapa menit semasa pengembangan,
ketika temperatur sekitar satu miliar kelvin dan rapatan
alam semesta sama dengan rapatan udara, neutron bergabung dengan proton dan
membentuk inti atom deuterium dan helium dalam suatu
proses yang dikenal sebagai nukleosintesis ledakan dahsyat.[37] Kebanyakan
proton masih tidak terikat sebagai inti hidrogen. Seiring
dengan mendinginnya alam semesta, rapatan energi massa rihat materi secara gravitasional
mendominasi. Setelah 379.000 tahun, elektron dan inti atom bergabung menjadi
atom (kebanyakan berupa hidrogen) dan radiasi
materi mulai berhenti. Sisa-sisa radiasi ini yang terus bergerak melewati ruang
semesta dikenal sebagai radiasi latar gelombang mikro kosmis.[38]
Medan Ultra Dalam Hubble memperlihatkan
galaksi-galaksi dari zaman dahulu ketika alam semesta masih muda, lebih padat,
dan lebih hangat menurut teori ledakan dahsyat.
Selama periode yang sangat panjang,
daerah-daerah alam semesta yang sedikit lebih rapat mulai menarik materi-materi
sekitarnya secara gravitasional, membentuk awan gas, bintang, galaksi, dan
objek-objek astronomi lainnya yang terpantau sekarang. Detail proses ini
bergantung pada banyaknya dan jenis materi alam semesta. Terdapat tiga jenis
materi yang memungkinkan, yakni materi gelap dingin, materi gelap panas, dan materi barionik. Pengukuran terbaik
yang didapatkan dari WMAP menunjukkan bahwa bentuk materi yang
dominan dalam alam semesta ini adalah materi gelap dingin. Dua jenis materi
lainnya hanya menduduki kurang dari 18% materi alam semesta.
Bukti-bukti independen yang berasal
dari supernova tipe Ia dan radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis menyiratkan bahwa alam semesta sekarang didominasi oleh
sejenis bentuk energi misterius yang disebut sebagai energi gelap, yang
tampaknya menembus semua ruang. Pengamatan ini mensugestikan bahwa 72% total
rapatan energi alam semesta sekarang berbentuk energi gelap. Ketika alam
semesta masih sangat muda, kemungkinan besar ia telah disusupi oleh energi
gelap, namun dalam ruang yang sempit dan saling berdekatan. Pada saat itu,
gravitasi mendominasi dan secara perlahan memperlambat pengembangan alam
semesta. Namun, pada akhirnya, setelah beberapa miliar tahun pengembangan,
energi gelap yang semakin berlimpah menyebabkan pengembangan alam semesta mulai
secara perlahan semakin cepat.
Segala evolusi kosmis yang terjadi
setelah periode inflasioner ini dapat secara ketat dideskripsikan dan
dimodelkan oleh model ΛCDM, yang menggunakan kerangka mekanika
kuantum dan relativitas umum Einstein yang independen. Sebagaimana yang telah
disebutkan, tiada model yang dapat menjelaskan kejadian sebelum 10−15
detik setelah kejadian ledakan dahsyat. Teori kuantum gravitasi diperlukan
untuk mengatasi batasan ini.
3.
Asumsi-asumsi
dasar
Teori ledakan dahsyat bergantung kepada
dua asumsi utama: universalitas hukum fisika dan prinsip kosmologi. Prinsip
kosmologi menyatakan bahwa dalam skala yang besar alam semesta bersifat homogen dan isotropis.
Kedua asumsi dasar ini awalnya dianggap
sebagai postulat, namun beberapa usaha telah dilakukan untuk menguji keduanya.
Sebagai contohnya, asumsi bahwa hukum fisika berlaku secara universal diuji
melalui pengamatan ilmiah yang menunjukkan bahwa penyimpangan terbesar yang
mungkin terjadi pada tetapan struktur halus sepanjang usia alam semesta berada dalam
batasan 10−5.[
Apabila alam semesta tampak isotropis
sebagaimana yang terpantau dari bumi, prinsip komologis dapat diturunkan dari prinsip
Kopernikus yang lebih sederhana. Prinsip ini menyatakan bahwa bumi,
maupun titik pengamatan manapun, bukanlah posisi pusat yang khusus ataupun
penting. Sampai dengan sekarang, prinsip kosmologis telah berhasil
dikonfirmasikan melalui pengamatan pada radiasi latar gelombang mikro kosmis.
a.
Metrik FLRW
Relativitas umum mendeskripsikan
ruang-waktu menggunakan metrik yang menjelaskan jarak kedua titik
yang terpisah satu sama lainnya. Titik ini, yang dapat berupa galaksi, bintang,
ataupun objek lainnya, ditunjukkan menggunakan peta koordinat yang berada di keseluruhan ruang waktu. Prinsip kosmologis menyiratkan bahwa
metrik ini haruslah homogen dan isotropis dalam skala yang besar. Satu-satunya
metrik yang memenuhi persyaratan ini adalah metrik
Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker (metrik FLRW). Metrik ini mengandung faktor skala yang menentukan seberapa besar alam
semesta berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini memungkinkan kita
untuk membuat sistem koordinat yang dapat
dipilih dengan praktis, yaitu koordinat segerak (comoving
coordinate).
Dalam sistem koordinat ini, kisi
koordinat berekspansi bersamaan dengan alam semesta yang mengembang, sehingga
objek yang bergerak karena pengembangan alam semesta akan berada pada titik
yang sama dalam sistem koordinat ini. Walaupun jarak koordinat (jarak segerak)
kedua titik tetap konstan, jarak fisik antara dua titik akan meningkat sesuai
dengan faktor skala alam semesta.
Ledakan Dahsyat bukanlah kejadian
penghamburan materi ke seluruh ruang semesta yang kosong. Melainkan ruang
tersebut berekspansi seiring dengan waktu dan meningkatkan jarak fisik antara
dua titik yang bersegerak. Karena metrik FLRW mengasumsikan distribusi massa
dan energi yang merata, metrik ini hanya berlaku pada skala yang besar.
b.
Horizon
Salah satu ciri penting pada ruang
waktu Ledakan Dahsyat adalah keberadaan horizon. Oleh karena
alam semesta memiliki usia yang terbatas, dan cahaya bergerak dengan kecepatan
yang terbatas pula, maka akan terdapat berbagai kejadian pada masa lalu yang
cahayanya belum mencapai kita. Hal ini akan membatasi kita dalam mengamati
objek terjauh alam semesta (horizon masa lalu). Sebaliknya, karena ruang
itu sendiri berekspansi dan objek yang semakin jauh akan menjauh semakin cepat,
cahaya yang dipancarkan oleh kita tidak akan pernah mencapai objek jauh
tersebut. Batasan ini disebut sebagai horizon masa depan, yang membatasi
kejadian-kejadian pada masa depan yang kita dapat pengaruhi.
Keberadaan dua horizon ini bergantung
pada penjelasan detail model FLRW mengenai alam semesta kita. Pemahaman kita
mengenai alam semesta pada waktu-waktu terawalnya menyiratkan terdapatnya
horizon masa lalu, walaupun pandangan kita juga akan dibatasi oleh buramnya
alam semesta pada waktu-waktu terawalnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat
memandang masa lalu lebih jauh daripada yang kita dapat pandang sekarang,
walaupun horizon masa lalu akan menyusut dalam ruang. Jika pengembangan akan
semesta terus berakselerasi, maka akan terdapat pula horizon masa depan..
4.
Bukti
pengamatan
Terdapat beberapa bukti pengamatan
langsung yang mendukung model Ledakan Dahsyat, yaitu pengembangan Hubble terpantau pada
geseran
merah galaksi, pengukuran mendetail pada latar belakang gelombang mikro kosmis, kelimpahan
unsur-unsur ringan, dan distribusi skala besar beserta evolusi galaksi yang
diprediksikan terjadi karena pertumbuhan gravitasional struktur dalam teori
standar. Keempat bukti ini kadang-kadang disebut "empat pilar teori
Ledakan Dahsyat".[
a. Hukum Hubble dan pengembangan ruang
Pengamatan pada galaksi dan kuasar yang jauh
menunjukkan bahwa objek-objek ini mengalami pergeseran merah, yakni bahwa
pancaran cahaya objek ini
telah bergeser menuju panjang gelombang yang lebih panjang. Pergeseran ini
dapat dilihat dengan mengambil spektrum frekuensi suatu objek
dan mencocokkannya dengan pola spektroskopi garis emisi ataupun garis absorpsi atom suatu unsur kimia yang
berinteraksi dengan cahaya. Pergeseran ini secara merata isotropis, dan
terdistribusikan merata di kesemuaan objek terpantau di seluruh arah pantauan.
Jika geseran
merah ini diinterpretasikan sebagai geseran Doppler, kecepatan mundur suatu
objek dapat dikalkulasi. Untuk beberapa galaksi, dimungkinkan pula perkiraan
jarak menggunakan tangga jarak kosmis. Ketika
kecepatan mundur dipetakan terhadap jaraknya, hubungan linear yang dikenal
sebagai hukum
Hubble akan terpantau:
v = H0D,
dengan
- v adalah kecepatan mundur suatu galaksi ataupun objek lainnya,
- D adalah jarak segerak terhadap objek tersebut, dan
- H0 adalah konstanta Hubble, yang nilai pengukurannya adalah 70,4 +1,3−1,4 km/s/Mpc.
Hukum Hubble memiliki dua
penjelasan, yaitu kita berada pada pusat pengembangan galaksi (yang tidak
mungkin sesuai dengan prinsip
Kopernikus), atapun alam semesta mengembang secara merata ke
mana-mana. Pengembangan alam semesta ini diprediksikan dari relativitas umum oleh Alexander
Friedmann pada tahun 1922[16] dan Georges
Lemaître pada tahun 1927, sebelum Hubble melakukan analisi
beserta pengamatannya pada tahun 1929.
Teori ini mempersyaratkan bahwa
hubungan v = HD berlaku sepanjang masa, dengan D adalah jarak segerak, v adalah kecepatan mundur, dan v,
H, D bervariasi seiring dengan mengembangnya alam semesta (oleh
karenanya kita menulis H0 untuk menandakannya sebagai
"konstanta" Hubble sekarang). Untuk jarak yang lebih kecil daripada alam
semesta teramati, geseran merah Hubble dapat dianggap sebagai geseran
Doppler yang sesuai dengan kecepatan mundur v. Namun, geseran merah ini
bukan geseran Doppler sejatinya, namun merupakan akibat dari pengembangan alam
semesta antara waktu cahaya tersebut dipancarkan dengan waktu cahaya tersebut
dideteksi.
Bahwa alam semesta mengalami
pengembangan metrik ditunjukkan oleh bukti pengamatan langsung prisip kosmologis dan prinsip
Kopernikus. Pergeseran
merah yang terpantau pada objek-objek yang jauh sangat isotropis dan homogen. Hal ini mendukung prinsip kosmologis
bahwa alam semesta tampaklah sama di keseluruhan arah pantauan. Apabila
pergeseran merah yang terpantau merupakan akibat dari suatu ledakan di titik
pusat yang jauh dari kita, maka pergeseran merahnya tidak akan sama di setiap
arah pantauan.
Pengukuran pada efek-efek radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis terhadap dinamika sistem astrofisika yang jauh pada
tahun 2000 membuktikan kebenaran prinsip
Kopernikus, yakni bahwa Bumi bukanlah posisi pusat alam semesta.
Radiasi yang berasal dari Ledakan Dahsyat ditunjukkan cukup hangat pada
masa-masa awalnya di seluruh alam semesta. Pendinginan yang merata pada latar
belakang gelombang mikro kosmis selama milyaran tahun hanya dapat dijelaskan
apabila alam semesta mengalami pengembangan metrik dan kita tidak berada dekat
dengan pusat suatu ledakan.
b.
Radiasi latar
belakang gelombang mikro kosmis
Semasa beberapa hari pertama alam
semesta, alam semesta berada dalam keadaan kesetimbangan termal, dengan foton
secara berkesinambungan dipancarkan dan kemudian diserap. Hal ini kemudian
menghasilkan radiasi spektrum benda hitam.
Seiring dengan mengembangnya alam
semesta, temperatur alam semesta menurun sehingganya foton tidak lagi dapat
diciptakan maupun dihancurkan. Temperatur ini masih cukup tinggi bagi elektron
dan inti untuk terus berpisah tanpa terikat satu sama lainnya. Walau demikian,
foton terus "dipantulkan" dari elektron-elektron bebas ini melalui
suatu proses yang disebut hamburan Thompson. Oleh karena
hamburan yang terjadi berulang-ulang, alam semesta pada masa-masa awalnya akan
tampak buram oleh cahaya.
Ketika temperatur jatuh mencapai
beberapa ribu Kelvin, elektron dan
inti atom mulai bergabung membentuk atom. Proses ini disebut sebagai rekombinasi. Karena foton
jarang dihamburkan dari atom netral, radiasi akan berhenti dipancarkan dari
materi ketika hampir semua elektron telah berekombinasi. Proses ini terjadi
379.000 tahun setelah Ledakan Dahysat, dikenal sebagai zaman penghamburan
terakhir. Foton-foton terakhir inilah yang kita pantau pada radiasi latar
belakang gelombang mikro kosmis pada masa sekarang.
Pola-pola fluktuasi radiasi latar ini
merupakan gambaran langsung alam semesta pada masa-masa awalnya. Energi foton
yang berasal pada zaman penghamburan terakhir akan mengalami pergeseran merah
seiring dengan mengembangnya alam semesta. Spektrum yang dipancarkan oleh foton
ini akan sama dengan spektrum radiasi benda hitam, namun dengan temperatur yang
menurun. Hal ini mengakibatkan radiasi foton ini bergeser ke daerah gelombang mikro. Radiasi ini
diperkirakan terpantau di setiap titik pantauan di alam semesta dan datang dari
semua arah dengan intensitas radiasi yang (hampir) sama.
Pada tahun 1964, Arno Penzias dan Robert
Wilson secara tidak sengaja menemukan radiasi latar belakang
kosmis ketika mereka sedang melakukan pemantau diagnostik menggunakan penerima gelombang mikro yang dimiliki
oleh Laboratorium
Bell. Penemuan mereka memberikan konfirmasi yang substansial
mengenai prediksi radiasi latar bahwa radiasi ini bersifat isotropis dan
konsisten dengan spektrum benda hitam pada 3 K. Penzias dan Wilson
kemudian dianugerahi penghargaan Nobel atas penemuan
mereka.
Spektrum latar belakang gelombang mikro kosmis yang
diukur oleh intrumen FIRAS pada satelit COBE merupakan spektrum benda hitam berpresisi
paling tinggi yang pernah diukur di alam. Titik-titik data beserta ambang batas
kesalahan pengukuran pada grafik di atas tertutup oleh kurva teoritis,
menunjukkan kepresisian pengukuran yang sangat tinggi.
Pada tahun 1989, NASA meluncurkan
satelit COBE (Cosmic Background Explorer -
Penjelajah latar belakang kosmis). Hasil penemuan awal satelit ini yang dirilis
pada tahun 1990 konsisten dengan prediksi Ledakan Dahsyat.
COBE menemukan pula temperatur sisa
alam semesta sebesar 2,726 K dan pada tahun 1992 untuk pertama kalinya
mendeteksi fluktuasi (anisotropi) pada radiasi latar belakang gelombang mikro
dengan tingkatan sebesar satu per 105.[ John C. Mather dan George Smoot dianugerahi
Nobel atas kepemimpinan mereka dalam proyek ini. Anisotropi latar belakang
gelombang mikro kosmis diinvestigasi lebih lanjut oleh sejumlah besar
eksperimen yang dilakukan di darat maupun menggunakan balon. Pada tahun
2000-2001, beberapa eksperimen, utamanya BOOMERanG, menemukan
bahwa alam semesta hampir secara spasial rata dengan mengukur ukuran sudut
anisotropi. (Lihat bentuk
alam semesta.)
Pada awal tahun 2003, hasil penemuan
pertama WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy
Probe) dirilis, menghasilkan nilai terakurat beberapa parameter-parameter
kosmologis. Wahana antariksa ini juga membantah beberapa model inflasi kosmis, namun masih
konsisten dengan teori inflasi secara umumnya. WMAP juga mengonfirmasi bahwa
selautan neutrino kosmis merembes di
keseluruhan alam semesta. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa bintang-bintang
pertama memerlukan lebih dari setengah milyar tahun untuk menciptakan kabut
kosmis.
b.
Kelimpahan
unsur-unsur primordial
Menggunakan model Ledakan Dahsyat, kita
dapat memperkirakan konsentrasi helium-4, helium-3, deuterium dan litium-7 yang ada di seluruh alam semesta
berbanding dengan jumlah hidrogen biasa. Kelimpahan kesemuaan unsur ini
bergantung pada satu parameter, yakni rasio foton terhadap barion, yang nilainya dapat dihitung secara
independen dari detail struktur fluktuasi latar belakang gelombang mikro
kosmis. Rasio yang diprediksikan (rasio massa) adalah sekitar 0,25 untuk 4He/H,
sekitar 10−3 untuk 2H/H, sekitar 10−4 untuk 3He/H
dan sekitar 10−9 untuk 7Li/H.
Hasil prediksi ini sesuai dengan hasil
pengukuran, paling tidak untuk kelimpahan yang diprediksikan dari nilai tunggal
rasio barion terhadap foton. Kesesuaian ini cukup baik untuk deuterium, namun
terdapat diskrepansi yang kecil untuk 4He dan 7Li. Dalam
kasus helium dan litium, terdapat ketidakpastian sistematis yang cukup besar.
Walau demikian, konsistensi prediksi ini secara umumnya memberikan bukti yang
kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat.
c.
Evolusi dan
distribusi galaksi
Pengamatan mendetail terhadap morfologi
dan distribusi galaksi beserta kuasar memberikan
bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat. Perpaduan antara pengamatan
dengan teori menunjukkan bahwa galaksi-galaksi beserta kuasar-kuasar pertama
terbentuk sekitar satu milyar tahun setelah Ledakan Dahysyat. Sejak itu pula,
berbagai struktur astronomi lainnya yang lebih besar seperti gugusan galaksi mulai
terbentuk. Populasi bintang-bintang terus berevolusi dan menua, sehingga
galaksi jauh (yang pemantaunnya menunjukkan keadaan galaksi tersebut pada masa
awal alam semesta) tampak sangat berbeda dari galaksi dekat. Selain itu,
galaksi-galaksi yang baru saja terbentuk tampak sangat berbeda dengan
galaksi-galaksi yang terbentuk sesaat setelah Ledakan Dahsyat. Pengamatan ini
membantah model keadaan tetap. Pengamatan pada pembentukan bintang, distribusi
kuasar dan gaklasi, sesuai dengan simulasi pembentukan alam semesta yang
diakibatkan oleh Ledakan Dahysat.
d.
Bukti-bukti
lainnya
Setelah melalui beberapa perdebatan,
umur alam semesta yang diperkirakan dari pengembangan Hubble dan radiasi latar
belakang gelombang mikro kosmis telah menunjukkan kecocokan yang sama (sedikit
lebih tua) dengan usia bintang-bintang tertua alam semesta.
Prediksi bahwa temperatur radiasi latar
belakang gelombang mikro kosmis lebih tinggi pada masa lalunya telah didukung
secara eksperimental dengan mengamati garis-garis emisi kabut gas yang sensitif
terhadap temperatur pada pergeseran merah yang tinggi. Prediksi ini juga
menyiratkan bahwa amplitudo dari efek Sunyaev–Zel'dovich dalam gugusan galaksi tidak
tergantung secara langsung pada geseran merah.
5.
Ciri,
persoalan, dan masalah
Walaupun sekarang ini teori Ledakan
Dahsyat mendapatkan dukungan yang luas dari para ilmuwan, dalam sejarahnya,
berbagai persaoalan dan masalah pada teori ini pernah memicu kontroversi ilmiah
mengenai model mana yang paling baik dalam menjelaskan pengamatan kosmologis
yang ada. Banyak dari persoalan dan masalah teori Ledakan Dahsyat telah
mendapatkan solusinya, baik melalui modifikasi pada teori itu sendiri maupun
melalui pengamatan lebih lanjut yang lebih baik.
Gagasan-gagasan inti Ledakan Dahsyat
yang terdiri dari pengembangan alam semesta, keadaan awal alam semesta yang
panas, pembentukan helium, dan pembentukan galaksi, diturunkan dari banyak
pengamatan yang tak tergantung pada model kosmologis mana pun. Walau
bagaimanapun, model cermat Ledakan Dahsyat memprediksikan berbagai feomena
fisika yang tak pernah terpantau di Bumi maupun terdapat pada Model Standar fisika partikel. Utamanya, materi gelap merupakan
topik investigasi ilmiah yang mendapatkan perhatian yang luas.[50] Persoalan
lainnya seperti masalah halo taring dan masalah galaksi katai dari materi gelap dingin tidak sefatal
penjelasan materi gelap karena penyelesaian atas masalah tersebut telah ada dan
hanya memerlukan perbaikan lebih lanjut pada teori Ledakan Dahsyat. Energi gelap juga merupakan
topik investigasi yang menarik perhatian ilmuwan, namun tidaklah jelas apakah
pendeteksian langsung energi gelap dimungkinkan atau tidak.
Di sisi lain, inflasi kosmos dan bariogenesis masih sangat
spekulatif. Keduanya sangat penting dalam menjelaskan keadaan awal alam
semesta, namun tidak dapat digantikan dengan penjelasan alternatif lainnya
tanpa mengubah teori Ledakan Dahsyat secara keseluruhan. Pencarian akan
penjelasan yang tepat atas fenomena-fenomena tersebut menjawab pada masalah
yang belum terpecahkan dalam fisika.
a.
Masalah horizon
Masalah horizon mencuat diakibatkan
oleh premis bahwa informasi tidak dapat bergerak melebihi kecepatan cahaya.
Dengan usia alam semesta yang terbatas, akan terdapat horizon partikel yang
memisahkan dua daerah dalam ruang alam semesta yang tidak memiliki hubungan
kontak sebab akibat. Isotropi radiasi latar yang terpantau menimbulkan masalah,
karena apabila alam semesta telah didominasi oleh radiasi ataupun materi
sepanjang waktunya di mulai dari masa penghamburan terakhir, horizon partikel
pada masa itu haruslah berkoresponden sekitar 2 derajat di langit, dan tidak
akan terdapat mekanisme apapun yang menyebabkan daerah lainnya yang dibatasi
partikel horizon untuk memiliki temperatur yang sama.
Penyelesaian atas inkonsistensi ini
dijelaskan oleh teori
inflasi, yakni medan energi skalar yang isotropis dan homogen
mendominasi alam semesta pada periode waktu terawalnya (sebelum bariogenesis).
Semasa inflasi, alam semesta mengalami pengembangan eksponensial dan horizon
partikel berkembang lebih cepat daripada yang kita asumsikan sebelumnya,
sehingga daerah yang sekarang ini berada berseberangan dengan alam semesta
teramati akan melangkaui partikel horizon satu sama lainnya . Isotropi radiasi
latar yang terpantau kemudian akan menunjukkan bahwa daerah yang lebih luas ini
pernah berada dalam hubungan kontak sebab akibat sebelum terjadinya inflasi.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg memprediksikan
bahwa semasa fase inflasi, akan terdapat fluktuasi termal kuantum. Fluktuasi ini
berperan sebagai cikal bakal keseluruhan struktur alam semesta. Teori inflasi
memprediksikan bahwa fluktuasi ini bersifat invariansi skala dan berdistribusi normal, sebagaimana
yang dikonfirmasikan oleh pengukuran radiasi latar.
b. Masalah
kerataan alam semesta
Geometri keseluruhan
alam semesta ditentukan oleh parameter kosmologis omega, apakah omega lebih
kecil, sama dengan, ataupun lebih besar daripada satu.
Masalah kerataan alam semesta adalah
masalah pengamatan yang diasosiasikan dengan metrik
Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker. Alam semesta bisa saja memiliki kelengkungan spasial yang positif, negatif, maupun
nol tergantung pada rapatan energinya. Kelengkungan alam semesta negatif
apabila rapatan energinya lebih kecil daripada rapatan kritisnya, positif
apabila lebih besar darinya, dan nol (rata) apabila sama besar dengannya.
Permasalahnnya adalah bahwa rapatan energi alam semesta terus meningkat dan
menjauhi nilai rapatan kritis walaupun alam semesta tetap hampir rata. Fakta
bahwa alam semesta belum mencapai Kematian Kalor maupun Remukan Besar setelah milyaran tahun memerlukan
penjelasan yang memadai, karena beberapa menit setelah Ledakan Dahsyat, massa
jenis alam semesta haruslah di bawah satu per 1014 dari nilai
kritisnya untuk tetap ada sampai sekarang.
Penyelesaian masalah ini diselesaikan
oleh teori
inflasi. Semasa inflasi, ruang waktu mengembang sedemikiannya kelengkungannya dimuluskan. Sehingganya, diteorikan
bahwa inflasi ini mendorong alam semesta untuk tetap hampir rata dengan rapatan
alam semesta yang hampir sama dengan nilai rapatan kritisnya.
c.
Monopol
magnetik
Persoalan monopol magnetik dicetuskan
pada akhir tahun 1970-an. Teori manunggal akbar memprediksikan
kecacatan topologi ruang yang
akan bermanifestasi menjadi magnetik monopol. Benda ini
akan dihasilkan secara efisien pada awal alam semesta yang panas, menghasilkan
kerapatan yang lebih tinggi daripada yang konsisten dengan pemantauan . Masalah
ini diselesaikan pula oleh inflasi kosmos, yang
menghilangkan semua titik-titik cacat dari alam semesta teramati sebagaimana ia
mendorong geometri alam semesta menjadi rata.
Resolusi alternatif terhadap masalah
horizon, kerataan, dan monopol magnetik diberikan pula oleh hipotesis kelengkungan Weyl.
d.
Asimetri barion
Sampai sekarang masih belum dimengerti
mengapa alam semesti memiliki jumlah materi yang lebih
banyak daripada antimateri. Umumnya
diasumsikan bahwa ketika alam semesta masih berusia muda dan sangat panas, ia
berada dalam kondisi kesetimbangan dan mengandung sejumlah barion dan antibarion yang sama besarnya.
Namun, hasil pengamatan menyiratkan bahwa alam semesta, termasuk pula yang
berada di tempat terjauh, hampir semuanya terdiri dari materi. Proses misterius
yang dikenal sebagai "bariogenesis"
menciptakan asimetri ini. Agar bariogenesis dapat terjadi, syarat-syarat kondisi Sakharov harus
dipenuhi. Kondisi ini mempersyaratkan bahwa jumlah barion tidak kekal, simetri-C dan simetri-CP dilanggar, serta alam semesta
menyimpang dari kesetimbangan termodinamika. Semua kondisi
ini terjadi dalam Model
Standar, namun efeknya tidaklah cukup kuat untuk menjelaskan asimetri
barion.
e.
Usia gugusan
globular
Pada pertengahan tahun 1990-an,
pengamatan pada gugusan-gugusan globular menunjukkan
hasil yang tampaknya tidak konsisten dengan Ledakan Dahsyat. Simulasi komputer
yang cocok dengan pemantauan pada populasi gugusan globular bintang menunjukkan
bahwa usia gugusan-gugusan ini sekitar 15 milyar tahun. Hal ini berkontradiksi
dengan usia alam semesta yang berusia 13,7 miltar tahun. Persoalan ini umumnya
diselesaikan pada akhir tahun 1990-an dengan simulasi komputer yang baru yang
melibatkan efek pelepasan massa yang diakibatkan oleh angin bintang. Simulasi baru
ini menunjukkan usia gugusan globular yang lebih muda. Walau demikian, masih
terdapat pertanyaan yang meragukan seberapa akurat usia gugusan ini diukur.
Tetapi yang jelas ada bahwa objek luar angkasa ini merupakan salah satu yang
tertua di alam semesta.
f.
Materi gelap
Diagram yang menunjukkan komposisi berbagai komponen alam
semesta menurut model ΛCDM –
kira-kira 95% komposisi alam semesta berbentuk materi gelap dan energi gelap
Semasa tahun 1970-an dan 1980-an,
berbagai pengamatan menunjukkan bahwa adanya ketidakcukupan materi terpantau
dalam alam semesta yang dapat digunakan untuk menjelaskan kekuatan gaya
gravitasi antar dan intra galaksi. Hal ini kemudian memunculkan gagasan bahwa
90% materi alam semesta berupa materi gelap yang tidak memancarkan cahaya
maupun berinteraksi dengan materi barion. Selain itu, asumsi bahwa alam semesta
terdiri dari materi normal akan menghasilkan prediksi yang inkonsisten dengan
hasil pengmatan. Khususnya, alam semesta sekarang ini tampak lebih
berbongkah-bongkah dan mengandung lebih sedikit deuterium. Hal ini tidak
dapat dijelaskan tanpa keberadaa materi gelap. Manakala pada awalnya materi
gelap ini cukup kontroversial, keberadaannya telah terindikasikan dalam
berbagai pengamatan, meliputi anisotropi pada radiasi latar belakang gelombang
mikro, dispersi kecepatan gugusan galaksi, kajian pada pelensaan
gravitasi, dan pengukuran sinar-X pada gugusan galaksi.
Bukti keberadaan materi gelap
kebanyakan berasal dari pengaruh gravitasi materi ini terhadap materi lain.
Sampai saat ini, belum ada partikel materi gelap yang telah terpantau di
laboratorium.
i.
Energi gelap
Pengukuran pada hubungan geseran merah dengan magnitudo semu dari supernova tipe Ia
mengindikasikan bahwa pengembangan alam semesta telah berakselerasi sejak alam
semesta berusia setengah kali lebih muda dari sekarang. Untuk menjelaskan
akselerasi ini, relativitas
umum mempersyaratkan bahwa kebanyakan energi dalam alam
semesta terdiri dari sebuah komponen yang bertekanan negatif, atau
diistilahkan "energi
gelap". Energi gelap diindikasikan oleh sederetan bukti.
Pengukuran pada latar belakang gelombang mikro kosmis
mengindikasikan bahwa alam semesta hampir secara spasial rata, sehingganya
menurut relativitas umum, alam semesta haruslah memiliki energi/massa yang
hampir sama dengan rapatan kritisnya. Namun,
rapatan alam semesta yang dihitung dari penggugusan gravitasional menunjukkan
bahwa ia hanya sekitar 30% dari rapatan kritisnya. Oleh karena energi gelap
tidak menggugus seperti energi lainnya, energi gelap dapat menjelaskan rapatan
energi yang "hilang" itu.
Tekanan negatif merupakan salah satu
ciri/sifat dari energi vakum. Namun sifat persis energi gelap masih
misterius. Hasil ekperimen dari WMAP pada tahun 2008 yang menggabungkan data
dari radiasi latar belakang dan sumber data lainnya menunjukkan bahwa rapatan
massa/energi alam semesta utamanya terdiri dari 73% energi gelap, 23% materi
gelap, 4,6% materi biasa, dan kurang dari 1%-nya neutrino.
Rapatan energi dalam materi menurun
seiring dengan mengembangnya alam semesta, tetapi rapatan energi gelap tetap
(hampir) konstan. Oleh karenanya, materi mendominasi keseluruhan energi total
alam semesta pada masa lalunya. Persentase ini akan menurun pada masa depan
seiring dengan semakin dominannya energi gelap.
6.
Masa depan
menurut teori Ledakan Dahsyat
Sebelum diindikasikannya energi gelap, para
kosmologis umumnya mengajukan dua skenario masa depan alam semesta. Jika
rapatan massa alam semesta lebih besar daripada rapatan kritisnya, maka alam
semesta akan mencapai ukuran maksimum dan kemudian mulai runtuh. Alam semesta
kemudian menjadi lebih padat dan lebih panas kembali, dan pada akhirnya akan
mencapai Remukan Besar.
Sebaliknya, apabila rapatan alam
semesta sama atau lebih kecil daripada rapatan kritisnya, pengembangan alam
semesta akan melambat namun tidak akan pernah berhenti. Pembentukan bintang-bintang
kemudian akan berhenti karena semua gas antar bintang di setiap galaksi telah
habis dikonsumsi; bintang-bintang yang ada kemudian akan terus menjalani
pembakaran nuklir menjadi katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam. Dengan sangat
perlahan, tumbukan antara katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam akan
mengakibatkan pembentukan lubang hitam yang lebih besar. Temperatur rata-rata
alam semesta akan secara asimtotis mencapai nol mutlak (Pembekuan Besar).
Selain itu, apabila proton tidak stabil,
maka materi-materi barion akan menghilang dan menyisakan hanya radiasi beserta
lubang hitam. Pada akhirnya pula, lubang-lubang hitam yang terbentuk akan
menguap dengan memancarkan radiasi Hawking. Entropi alam semesta
akan meningkat sampai dengan taraf tiada lagi bentuk energi lain bisa
didapatkan dari entropi tersebut. Keadaan ini disebut sebagai kematian kalor alam semesta.
Pengamatan modern menunjukkan bahwa
pengembangan alam semesta terus berakselerasi, ini berarti bahwa semakin banyak
bagian alam semesta teramati sekarang akan terus melewati horizon peristiwa kita dan tidak
akan pernah berkontak dengan kita lagi. Akibat akhir dari pengembangan yang
terus meningkat ini tidak diketahui.
Model ΛCDM alam semesta
mengandung energi
gelap dalam bentuk konstanta kosmologi. Teori ini
mensugestikan bahwa hanya sistem yang terikat secara gravitasional saja,
misalnya galaksi, yang akan terus terikat bersama. Namun, galaksi-galaksi
inipun akan mencapai kematian kalor seiring dengan mengembang dan
mendinginnya alam semesta.
Penjelasan alternatif lainnya yang
disebut teori energi fantom mensugestikan bahwa pada akhirnya
gugusan-gugusan galaksi, bintang, planet, atom, inti atom, dan materi akan
terkoyak oleh pengembangan yang terus meningkat, dan keadaan ini disebut
sebagai Koyakan Besar.[59]
7.
Fisika
spekulatif melangkaui teori Ledakan Dahsyat
Konsep pengembangan alam semesta, di mana ruang (termasuk
bagian tak teramati alam semesta) di wakili oleh potongan-potongan lingkaran
seiring dengan berjalannya waktu.
Manakala model Ledakan Dahsyat telah
cukup mapan dalam bidang kosmologi, sangat besar kemungkinannya model ini akan
terus diperbaiki pada masa depan. Sampai sekarang, sangat sedikit sekali yang
kita ketahui mengenai masa-masa awal sejarah alam semesta. Teorema singularitas Penrose-Hawking
mempersyaratkan keberadaan singularitas pada awal kemunculan waktu. Namun,
teori ini mengasumsikan bahwa teori relativitas umum berlaku,
walaupun teori relativitas umum haruslah tidak berlaku sebelum alam semesta
mencapai temperatur Planck. Penerapan
teori gravitasi kuantum yang tepat
mungkin dapat menghindari keberadaan singularitas ini.
Terdapat beberapa gagasan beserta
hipotesis tak teruji yang diajukan:
- Model keadaan Hartle-Hawking, yang mana keseluruhan ruang waktu terbatas; Ledakan Dahsyat mewakili batasan waktu, namun tidak memerlukan keberadaan singularitas.
- Model kekisi Ledakang Dahsyat menyatakan bahwa alam semesta pada saat Ledakan Dahsyat terdiri atas sejumlah kekisi fermion yang terbatas yang merambah domain fundamental, sehingganya ia memiliki simetri rotasional, translasional, dan tolok. Simetri ini merupakan simetri terbesar yang dimungkinkan, sehingganya memiliki entropi terendah dari keadaan manapun.
- Model kosmologi membran yang mengajukan bahwa inflasi terjadi diakibatkan oleh pergerakan membran-membran dalam teori dawai; model pra-Ledakan Dahsyat; model ekpirotik, yang mana Ledakan Dahsyat merupakan akibat tumbukan membran-membran; dan model siklik yang sama dengan model ekpirotik tetapi tumbukan terjadi secara berkala. Dalam model siklik, Ledakan Dahsyat didahului oleh Remukan Besar dan alam semesta terus menerus melalui siklus ini dari satu proses ke proses lainnya.
Beberapa gagasan memandang Ledakan
Dahsyat sebagai suatu kejadian yang terjadi di alam semesta yang lebih besar
dan lebih tua dan bukanlah kebermulaan alam semesta.
8.
Penafsiran
keagamaan
Teori Ledakan Dahsyat adalah teori ilmiah, sehingganya ia tergantung pada
kecocokan teori ini dengan pengamatan yang ada. Namun, sebagai suatu teori, ia
mengalamatkan asal usul realitas dan alam semesta, yang pada akhirnya memiliki
implikasi teologis dan filosofis akan konsep penciptaan ex nihilo. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, hampir
semua kosmologis cenderung mendukung model keadaan tetap alam semesta dan
beberapa kosmologis mengeluh bahwa adanya permulaan waktu dalam Ledakan Dahsyat
memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam ilmu fisika; keberatan ini terus
disuarakan oleh para pendukung teori
keadaan tetap. Kecurigaan ini lebih menjadi-jadi oleh karena pengusul
teori Ledakan Dahsyat, Monsignor Georges
Lemaître, adalah seorang biarawan Katolik Roma. Paus Pius XII pada pertemuan
Pontificia Academia Scientiarum tanggal 22
November 1951.
Sejak diterimanya teori Ledakan Dahsyat
sebagai paradigma kosmologi fisika yang dominan, terdapat berbagai tanggapan
yang berbeda dari kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda akan implikasi teori
ini terhadap doktrin penciptaan keagamaan mereka. Beberapa menerima bukti-bukti
ilmiah teori Ledakan Dahsyat, yang lainnya berusaha merekonsiliasi teori ini
dengan ajaran agama mereka, dan ada pula yang menolak maupun mengabaikan bukti
teori ini.
BAB
III
KESIMPULAN
Hukum Hubble memiliki dua
penjelasan, yaitu kita berada pada pusat pengembangan galaksi (yang tidak
mungkin sesuai dengan prinsip
Kopernikus), atapun alam semesta mengembang secara merata ke
mana-mana. Pengembangan alam semesta ini diprediksikan dari relativitas umum oleh Alexander
Friedmann pada tahun 1922 dan Georges
Lemaître pada tahun 1927, sebelum Hubble melakukan analisi
beserta pengamatannya pada tahun 1929.
Teori ini mempersyaratkan bahwa
hubungan v = HD berlaku sepanjang masa, dengan D adalah jarak segerak, v adalah kecepatan mundur, dan v,
H, D bervariasi seiring dengan mengembangnya alam semesta (oleh
karenanya kita menulis H0 untuk menandakannya sebagai
"konstanta" Hubble sekarang). Untuk jarak yang lebih kecil daripada alam
semesta teramati, geseran merah Hubble dapat dianggap sebagai geseran
Doppler yang sesuai dengan kecepatan mundur v. Namun, geseran merah ini
bukan geseran Doppler sejatinya, namun merupakan akibat dari pengembangan alam
semesta antara waktu cahaya tersebut dipancarkan dengan waktu cahaya tersebut
dideteksi.
Umumnya diasumsikan bahwa ketika alam
semesta masih berusia muda dan sangat panas, ia berada dalam kondisi
kesetimbangan dan mengandung sejumlah barion dan antibarion yang sama besarnya.
Namun, hasil pengamatan menyiratkan bahwa alam semesta, termasuk pula yang
berada di tempat terjauh, hampir semuanya terdiri dari materi. Proses misterius
yang dikenal sebagai "bariogenesis"
menciptakan asimetri ini. Agar bariogenesis dapat terjadi, syarat-syarat kondisi Sakharov harus
dipenuhi. Kondisi ini mempersyaratkan bahwa jumlah barion tidak kekal, simetri-C dan simetri-CP dilanggar, serta alam semesta
menyimpang dari kesetimbangan termodinamika. Semua kondisi
ini terjadi dalam Model
Standar, namun efeknya tidaklah cukup kuat untuk menjelaskan
asimetri barion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar